Bangso Batak sebagaimana suku bangsa lain di Indonesia tidak lepas dari mitos, legenda, hikayat atau pada bahasa kita sering disebut turi-turian. Salah satu yang paling dikenal adalah asal mula Danau Toba. Bagaimana anak nelayan yang berasal dari ikan kemudian memunculkan Samosir.

Kalau dari Sumatera Barat kita mengenal kisah Malin Kundang, anak yang durhaka kepada orang tua dan kemudian dikutuk, dari tanah Batak ada beberapa kisah mirip. Dengan tokoh bernama si Mardan atau Sampuraga dari Tapanuli Selatan.

Kita juga pernah mendengar cerita asal usul Danau Toba yang berawal dari kisah seorang nelayan yang menemukan seekor ikan. Ternyata ikan tersebut merupakan seorang putri. Akhirnya nelayan tersebut menikahi sang putri dengan syarat apapun yang terjadi kelak, sang nelayan tidak akan pernah menyinggung latar belakang istrinya. Satu saat anak mereka melakukan kesalahan dan mengesalkan hati si Bapak. Sangkin kesalnya si Bapak mengumpat ke anaknya, “Dasar Anak Ikan!”. Terjadilah hujan deras untuk berapa lama yang mengakibatkan daerah tempat tinggal mereka digenangi air dan menjadi Danau Toba yang kita kenal sekarang.

Masih di sekitar Danau ada cerita yang berhubungan dengan Batu Gantung. Mungkin yang pernah berkunjung ke Danau Toba pernah melihat atau ditunjukkan. Konon katanya merupakan putri raja bermarga Sinaga. Tidak terima dijodohkan oleh orang tuanya, diapun lari dan melompat hendak bunuh diri ke Danau Toba. Alih alih meninggal masuk ke danau, sang putri sangkut di batu karena rambutnya panjang. Melihat tuannya terjun, anjing peliharaannya mengikut dari belakang dan ikut sangkut. Konon katanya itu sebab pada masanya, boru Sinaga tidak diperkenankan berambut panjang.

Ada lagi kisah klasik tentang Simanjuntak yang katanya terdiri dari dua kubu. Depan dan Belakang. Berawal dari Raja Simanjuntak yang beristrikan boru Hasibuan yang menurunkan Simanjuntak depan, dan boru Sihotang yang menurunkan Simanjuntak belakang. Banyak cerita yang beredar terkait hal tersebut.

Ada lagi yang cerita tentang asal usul parpadanan antara Naibaho dan Sihombing. Alkisah terjadi perang antara Lumbantoruan (Sihombing) melawan Marbun. Sedemikian terdesaknya Sihombing mundur ke hutan. Dimana dia bertemu dengan marga Naibaho yang ternyata diusir oleh orang tuanya karena menjalin hubungan sumbang dengan adik kandung (ito) nya. Sang adik dibuang ke Danau dan dipercaya menjadi penjaga danau. Sihombing inilah yang membantu Naibaho. Dari situlah awal parpadanan mereka.

Pardosi merupakan keturunan dari Tuan Dibangarna dari Siagian. Salah satu dari anak Siagian ini memiliki kemampuan membuat/mengukir gorga. Suatu ketika dia ditunjuk untuk memimpin satu pembangunan sebuah Sopo dan dibekali dengan perlengkapan bernama Tuhil (semacam pahat) yang terbuat dari besi. Ketika sopo hampir selesai tidak sengaja dia dia kehilangan tuhilnya. Sehingga akhirnya dia harus membuat tuhil yang baru. Satu ketika ketika orang tuanya datang mengunjungi dan melihatnya membuatnya sedang membuat tuhil. Sang Bapak marah kepada anaknya. “Husuru ho Mambaen Gorga!!!! Hape manompa bosi do diula ho!!! Atik na PARBOSI do ho???”

Alkisah di daerah Tarutung ada seorang boru Hutabarat yang cantik dan menjadi primadona yang menarik perhatian. Bukan hanya orang namun hingga makhluk halus. Pernah satu ketika dia hilang dan muncul dengan ada tanda di tubuhnya. Konon katanya hal tersebut yang menyebabkan hingga sekarang ketika ada boru Hutabarat selalu ditanya, “ada tandanya gak?”

Masih ada beberapa mitos lagi seperti keberadaan begu ganjang. Atau ketenaran bahwa di Simalungun atau Karo masih memiliki ‘ilmu’ yang tinggi. Ada juga yang menanyakan mengenai hubungan antara cuci muka di kuburan ketika berziarah dan berdoa di kuburan. Yang kalau dihubungkan dengan keyakinan (agama) tidak relevan lagi. Kalau cuci muka atau marsuap, pesan yang ingin disampaikan adalah, “nunga salpu lungun ni roha (sudah berlalu segala kesedihan)”.

Ada juga peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa speaker, yang secara logika tidak masuk di akal kita, namun kejadian di depan mata. Bahkan tuak sendiri ternyata memiliki kisahnya sendiri. Sesuatu yang mungkin tidak banyak diantara kita yang mengetahui hikayat di baliknya.

Dari diskusi malam ini, mungkin kita bisa mendapat kesimpulan bahwa apapun yang diceritakan oleh orang tua kepada kita, untuk kemudian menjadi kebiasaan atau semacam larangan, kita percaya ada latar belakangnya dan memiliki alasan logis dibalik itu semua. Karena apapun pesan orang tua pastilah untuk kebaikan anak-anak atau keturunannya. Boleh dipercayai tapi tidak harus diikuti.