Sering kita mendengar salah satu pertimbangan orang tua Batak mencari, memilih atau menentukan calon hela/parumaen adalah soal pekerjaan. Lebih  mengerucut  lagi,  pekerjaan  yang  jadi  idaman  adalah  apa yang

dahulu disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa kali terdengar bahwa ASN masih jadi standar umum calon mantu bagi orang tua Batak. Dan dua profesi yang sering disebutkan adalah guru atau bidan. Entah kenapa. Mungkin karena guru dianggap punya waktu libur yang cukup panjang mengikut tahun ajaran. Bidan diharapkan bisa merawat simatua pada hari tuanya.

Kalau dipikir-pikir, hal tersebut mungkin karena pemahaman belaka. Mungkin beberapa puluh tahun lalu, ketika dunia kerja belum semaju sekarang, posisi ASN memang menjanjikan. Dari soal stabilitas misalnya. Pendapatan (gaji) dan jam kerja yang pasti. Selain itu, hampir pasti ketika diterima menjadi PNS tidak pernah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja. Banyak kejadian dari sejak diterima, seorang ASN bertahan hingga pensiun. Ketika pensiun pun mereka mendapat pensiun setiap bulan. Selama menjadi ASN, istri dan anak lebih terjamin dalam hal mendapat tunjangan juga asuransi lewat asuransi milik negara. Selain itu ada sisi lain juga. Sebagaimana kita ketahui, seleksi penerimaan ASN cukup ketat. Dari puluhan ribu yang mendaftar, hanya sedikit yang bisa diterima. Mungkin karena persaingan itu yang membuat, posisi sebagai ASN dianggap merupaakn prestasi tersendiri.

Selain itu, menjadi ASN juga dianggap tidak butuh banyak waktu untuk menjelaskan soal apa dan bagaimana kerja dan pekerjaannya. Beda misalnya kalau menjadi pegawai swasta. Apalagi kalau industrinya baru. Setinggi apapun posisi di perusahaan swasta belum tentu keluarga bisa memahami. Bahkan ada yang bekerja di perusahaan pengelola Grab malah dianggap menjadi operator grab. Miris.

Diskusi ini juga terkait dengan saat ini sedang musim penerimaan ASN. Sebenarnya apa yang memotivasi seseorang untuk menjadi ASN? Apakah sekadar masa depan terjamin? Atau ada hal lain? Ada yang berpendapat bahwa alasan terjamin masih menjadi alasan kuat. Ada juga yang berpendapat ingin memberi ‘pelajaran’ (pakai istilah menutup mulut dia bah) kepada keluarga yang masih mengagungkan posisi ASN. Sampai menyematkan istilah pejuang ASN pada dirinya. Karena tiada bosan mencoba peruntungan masuk ASN.

Pengalaman mengatakan bahwa ketika orang tua seseorang adalah ASN, tidak serta merta anak-anaknya memiliki keinginan untuk ikut jejak mereka untuk menjadi ASN juga. Bahkan ketika orang tua malah sudah menganjurkan karena sudah merasakan manfaatnya, tidak berpengaruh juga ternyata. Banyak yang sudah ikut keinginan masing-masing. Katanya kembali pada passion masing- masing. selain alasan itu, pengalaman menjadi anak ASN yang konon katanya disumpah untuk bersedia ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia, dan otomatis anak-anak ikut berpindah, membuat mereka kurang nyaman untuk ikut jejak orang tua mereka.

Untuk mereka yang masih mengidamkan punya hela atau parumaen ASN ternyata ada insight menarik malam ini. Bahwa posisi ASN itu diharapkan pada istri tidak untuk posisi suami. Hal ini masih masuk akal untuk pasangan yang kebetulan keduanya bekerja. Melihatnya cukup satu saja yang ASN, pasangannya bisa profesi lain. Tujuannya tidak lain agar ada stabilitas dalam rumah tangga. Ketika salah satu pasangan ‘terganggu’ pekerjaannya, masih ada backup dengan pasangan yang berprofesi sebagai ASN.

Sebenarnya, apakah keinginan orang tua sebagaimana disampaikan di atas masih relevan pada saat ini? Ada pandangan yang berpendapat mungkin hal itu masih relevan pada keluarga yang masih di kampung. Tidak terjadi pada meraka yang sudah merantau keluar dari bona pasogit. Namun ada juga yang bilang sudah tidak relevan karena wawasan orang tua sudah semakin luas. Selain itu juga karena semakin hari jenis pekerjaan sudah semakin heterogen. Perkembangan zaman dan diikuti perkembangan teknologi membuat banyak pekerjaan yang tidak pernah terbayangkan saat ini, sudah banyak tercipta dan tidak jarang memberi imbalan yang tak kalah menarik.

Yang terpenting sebenarnya adalah kembali pada angka, berapa yang diterimanya sebulan. Dari yang diterima tersebut, apakah cukup untuk membiaya hidup sehari-hari atau tidak. Bisa menyekolahkan anak dengan baik atau tidak. Dan selanjutnya apakah bisa menabung atau tidak. Karena bagaimanapun itu, tujuan dari bekerja adalah ke arah sana juga.