Tidak bisa dipungkiri, Danau Toba yang merupakan danau vulkanik terbesar di dunia yang terletak di wilayah Tapanuli, menjadi ikon bagi pariwista Indonesia khususnya di Bona Pasogit. Konon Danau Toba memiliki panjang 100 kilometer (62 mil), lebar 30 km (19 mil), dan kedalaman 505 meter (1.657 ft). Danau ini terletak di tengah pulau Sumatera bagian Utara dengan ketinggian permukaan sekitar 900 meter (2.953 ft) di atas permukaan laut. Danau yang memiliki keindahan alam menakjubkan dikelilingi 7 kabupaten yakni Simalungun, Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir merupakan potensi besar sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Sebagian besar destinasi wisata di Sumatera Utara atau Tapanuli berada di seputaran Danau Toba. Sebut saja Parapat sebagai kota di tepi pantai Danau Toba, Pulau Samosir dengan Tomok dan kuburan batu Raja Sidabutar di tengah danau, Simarjarunjung, pantai Haranggaol, air terjun si Piso-piso, Bakara, Muara, Tele, dataran tinggi Sipinsur, dan seterusnya.

Upaya yang dilakukan pemerintah (pusat) dalam 10 atau 5 terakhir untuk membuka Danau Toba bisa dikatakan tidaklah sedikit. Pembangunan infrastruktur, semacam revitalisasi bandara Silangit (konon bandara Sibisa segera menyusul) atau pembangunan tol dari Medan menuju Danau Toba yang diharapkan mempersingkat waktu tempuh wisatawan dari Medan atau bandara Kuala Namu adalah pilar penting untuk mendorong upaya mendorong Danau Toba menjadi Monaco of Asia. Hal ini penting karena terkait dengan waktu.

Dalam berwisata penting bagaimana bisa menikmati sebanyak mungkin destinasi wisata yang ada dengan waktu yang tersedia.

Pemerintah juga telah membentuk Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang bertujuan untuk mempercepat cita-cita tersebut. Demi tercapainya percepatan itu, BODT lepas dari pemerintah. Mereka hanya terkait dengan koordinasi dan menyusun kebijakan. Dengan demikian diharapkan percepatan pembangunan akan lebih cepat tercapai dan setidaknya tidak terhambat urusan birokrasi. Jadi tidak membutuhkan persetujuan pemerintah daerah. Berbeda lagi dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang merupakan badan usaha milik negara yang dibentuk untuk membangun kawasan wisata.

Apa yang perlu diubah dari Danau Toba sebagai destinasi wisata, kembali pada oranganya.Industri pariwisata mengedepankan hospitality, keramahtamahan. Apakah penduduk setempat mampu mengedepankan hal tersebut. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang kita susah menyebut selamat datang atau terima kasih kepada pendatang. Orang kita terkesan kasar dan tidak ramah kepada pendatang. Keramahtamahan selain bagian dari bagian dari bawaan lahir sebenarnya bias dibentuk seabgai bagian dari profesionalisme. Bukan satu cerita kalau kunjungan ke sana dianggap sebagai parsahalian, hanya untuk sekali saja. Ada kesan jera. Apakah itu ada hubungannya dengan kondisi bahwa orang Batak adalah anak ni Raja atau boru ni Raja?

Mau tidak mau, harus diakui bahwa anggapan tersebut kadang merupakan kendala. Mungkin sering kita merasa anak ni Raja atau boru ni Raja sebagai posisi semata. Bukan sebagai patokan untuk bersikap atau berperilaku. Penting untuk menanamkan bahwa anak ni Raja atau boru ni Raja bukan semata dalam pemahaman feodal bahwa kita harus dihormati. Namun bagaimana kita bersikap sebagai bangsawan yang ramah kepada tamu atau pendatang. Sebab begitulah seharusnya anak ni Raja atau boru ni Raja.

Namun ada insight menarik yang disampaikan bang Poltak Sianturi (@hotradero) malam ini. Bahwa pengalaman serupa terjadi juga di Mandalika. Bersama dengan Danau Toba yang juga merupakan destinasi utama yang dikembangkan pemerintah, Mandalika mengalami hal sama dengan penduduknya. Namun apa yang dilakukan di sana? Upaya yang dilakukan adalah dengan pertama kali merebut hati penduduknya. Sebelum membangun hotel dan daerah komersial lain, pengelola kawasan wisata terlebih dahulu membangun masjid. Kenapa demikian? Karena jika yang didahulukan adalah area komersial, ada kekhawatiran akan resisten si dari penduduk setempat. Muncul kesan bahwa kawasan yang dibangun merupakan daerah yang kesan ekslusif. Dengan terlebih dahulu merebut hati, terbukti upaya tersebut bisa berhasil. Mencontoh hal sama, bukan tidak mungkin strategi tersebut bisa berhasil diterapkan di Bona Pasogit.

Atau ada hal lain lagi yang bisa kita coba bersama. Yaitu alih-alih menginap di rumah saudara, yang pasti masing-masing kita punya, kita bisa memilih menginap di hotel atau akomodasi yang ada di daerah wisata. Dengan demikian bisa memberi penghasilan bagi penduduk setempat. Selain itu, dengan menjadi konsumen, diharapkan juga kita sebagai warga atau putra daerah bisa memberi masukan bagi pengelola. Dengan begitu akan menjadi semacam quality control bagi mereka. Dengan demikian, harapannya keindahan Danau Toba yang unik tersebut memberikan hasil yang baik bagi penduduk sekitarnya. Yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup penduduk setempat yang adalah saudara kita juga.