Mandok hata, secara harafiah bisa diartikan sebagai menyampaikan sesuatu (dalam bentuk kata kata). Sebuah tradisi yang mungkin masih dipelihara oleh sebagian besar keluarga Batak. Mandok Hata

sering atau biasa dilakukan pada saat acara adat atau acara keluarga. Seperti ketika menyampaikan tudu-tudu sipanganon, menyampaikan nasihat, menyampaikan kata penghiburan, atau mengucapkan selamat. Belakangan Mandok Hata sepertinya diartikan sempit, menjadi sekadar yg biasa dilakukan pada malam pergantian tahun untuk beberapa keluarga.

Apa sih yang membuat Mandok Hata menjadi semacam budaya?. Kembali jika mungkin dilihat dari konsep Dalihan Na Tolu, tidak semua insan Batak mendapat kesempatan untuk menyampaikan apa yang disebut Jambar Hata (Jambar berarti hak). Hak menyampaikan kata-kata. Hanya mereka yang sudah menikah yang bisa mendapat hak itu dalam acara adat. Itu juga kalau melihat pelaksanaan pesta unjuk, hanya pria yang mendapat kesempatan.

Lantas bagaimana jalan keluarnya, mungkin dengan alasan itulah dicari wadah lain agar semua (annggota) keluarga baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah bisa menyampaikan buah pikirannya dalam bentuk apapun. Entah itu pendapat, doa, harapan dan seterusnya.

Kembali pada Mandok Hata dalam pengertian malam pergantian tahun, ternyata banyak keluarga yang masih melaksanakannya. Utamanya keluarga Batak yang beragama Kristen. Biasanya dimulai pada pukul 12 malam saat pergantian hari, yang otomatis merupakan malam pergantian tahun. Dimulai dengan kebaktian singkat untuk kemudian seluruh anggota keluarga yang berkumpul menyampaikan sesuatu. Biasanya anak anak atau yang paling muda akan meminta maaf kepada yang lebih tua. Demikian seterusnya berurutan sampai kepada yang paling tua. Baik dari sisi usia maupun dari paradatan. Mulai dari Boru hingga Hula-Hula. Dan ditutup oleh kepala keluarga.

Pembicaraan pada malam itu dirasakan merupakan pembicaraan yang deep talk. Bagaimana kita mengorek luka lama, kesalahan lalu, mengevaluasi apa yang sudah dilakukan. Merencanakan apa yang akan dilakukan pada tahun yang baru. Tidak jarang diiringi oleh tangis atau minimal suara sesunggukan dan air mata yang menetes.

Untuk beberapa anggota keluarga ternyata menjadi trauma.Terutama untuk angka naposo yang belum menikah. Sedemikian menakutkannya membayangkan pertanyaan apa yang akan muncul. Kapan menikah? Tapi ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Kalau sudah menikah, kapan punya momongan. Kalau sudah punya momongan, kapan nambah? Bertubi-tubi. Atau kalau masih sekolah, terutama kuliah yang tidak ada batasan masa belajar, kapan wisuda?

Ada juga yang merasakan hal itu menjadi beban. Ketika orang lain harus merayakan pergantian tahun tahun dengan kembang api dan meniup terompet, kita harus berkumpul dan membicarakan hal yang serius. Namun meski demikian, dalam perjalanan waktu ketika telah jauh dari keluarga, dan tidak bisa berkumpul sebagaimana biasa, kadang kita merindukan suasana seperti itu.

Untuk beberapa keluarga, acara tersebut sudah dimodifikasi seperlunya. Ada yang sudah menggantinya dengan bentuk lain. Sekadar makan malam bersama untuk kemudian setelahnya berdiskusi antar keluarga. untuk Tahun baru sudah dilakukan modifikasi. Acara itu sudah ditiadakan dan diganti dengan sekadar makan malam bersama seluruh keluarga, untuk kemudian saling mengingat apa yang telah dijalankan.

Modifikasi lain juga dilakukan dalam sisi waktu pelaksanaan. Tidak lagi dimulai tengah malam tapi lebih cepat. Untuk kemudian selesai pas tengah malam dan dapat merayakan pergantian tahun sebagaimana orang lain. Kembali pada kebiasaan keluarga sebenarnya. Dan sepertinya yang diutamakan adalah momen kebersamaan di antara keluarga. Selain itu acara mandok hata tidak lagi dilaksanakan hanya pada malam tahun baru. Bisa dilaksanakan pada acara ulang tahun anak atau ulang tahun pernikahan orang tua.

Kalau kita perhatikan dalam beberapa acara pesta unjuk atau yang lain, ada yang menarik. Bagaimana orang Batak menjadikannya sebagai ajang unjuk gigi. Harus mendapat kesempatan bicara. Ketika diberi kesempatan bicara, ternyata hanya menyampaikan pengulangan yang sudah disampaikan pembicara sebelumnya. Atau mengulang umpasa yang sudah disampaikan sebelumnya. Bukan hanya satu bahkan lebih. Tak jarang hal tersebut membuat acara menjadi lama dan berlarut-larut.

Selain sisi negatif atau apa yang dianggap trauma, ada sisi positip yang bisa diambil. Kita menjadi terbiasa berbicara di depan umum. Karena mungkin sudah kita mulai sejak usia dini. Selain itu, kalau dihubungkan dengan Mandok Hata dalam tatanan Dalihan Na Tolu, Mandok Hata mengajari kita untuk bersosialisasi dengan orang lain, dengan tetangga. Atau di dunia kerja. Bagaimana kita memposisikan diri ketika Mandok Hata sebagai Boru, sebagai Dongan Tubu, sebagai Hula-Hula, bisa kita terapkan di dunia kerja. Ketika dalam satu meeting, kita menyampaikan pendapat atau gagasan dalam kapasitas kita sebagai apa. Kompetensi kita bagaimana. Bukankah itu keren?

Orang tua kita yang terdahulu mengajarkan kepada kita, Ompu Raja Ijolo martungkot siala gundi. Angka na uli pinungka ni ompunta parjolo, siihutonon ni hita akka na parpudi. Apapun yang baik yang telah dimulai oleh leluhur kita terdahulu, selama itu baik tidak ada salahnya kita ikuti.