Ada satu tradisi yang dirawat dalam keluarga Batak, sejak dahulu sampai sekarang. Tradisi yang mungkin khusus dilakukan mereka yang beragama Kristen. Tanpa bermaksud membicarakan mengenai prosesinya yang sering dimulai dengan kebaktian, malam ini kita bicara mengenai tradisi mandok hata yang biasanya dilaksanakan pada malam pergantian tahun, tanggal 31 Desember.

Dalam adat Batak, ada hak dan kewajiban yang melekat pada setiap pribadi. Hak dan kewajiban yang dimiliki dan dijalankan. Kalau kita bicara hak, merupakan sesuatu yang diterima atau diperoleh seseorang. Dalam adat Batak, biasa disebut sebagai jambar. Ada yang bilang kalau jambar itu merupakan hak pribadi atau kelompok karena kedudukannya dalam adat. Terdapat setidaknya lima jenis jambar. Kelimanya adalah jambar ulos, jambar juhut (daging), jambar hepeng (uang), jambar hata, jambar pasahathon pasu-pasu (untuk memimpin doa dalam suatu acara khusus, sesuai dengan agama/iman kepercayaan kelompok yang menyelenggarakan acara).

Ada istilah yang sering kita dengar ketika ada ulaon adat. Biasanya raja parhata akan memulai dengan mengujar “jolo sineat hata asa sineat raut“. Sebelum membagi jambar (juhut) harus dimulai dengan menyampaikan pengantarnya dalam bentuk kata-kata (hata). Konon itu pula sebabnya ketika jambar (juhut) telah dibagi kepada yang berhak, setiap kali potongan daging atau juhut diserahkan kepada yang berhak maka protokol (parhata) harus mempublikasikan (manggorahon) di depan publik. Selanjutnya setiap kali seseorang atau satu pihak telah menerima jambar maka ia harus kembali mempublikasikannya lagi kepada masing-masing anggotanya bahwa jambar (hak) sudah mereka terima.

Kembali pada tradisi mandok hata, bagaimana kita menyikapinya? Sebagai sebuah tradisi, ada yang berpendapat kalau mandok hata ini tidak akan hilang. Mungkin ada tradisi lain yang bisa hilang ditelan zaman, namun mandok hata sepertinya akan kekal. Karena kita fokus membicarakan mandok hata yang dilaksanakan pada akhir tahun, kita bisa melihatnya sebagai sebuah upaya untuk melihat lagi apa yang telah dilakukan selama setahun. Ajang buka-bukaan. Menyikapi apa yang telah dialami. Entah itu acara suka maupun duka. Namun mandok hata bukan sekadar mengungkap kesalahan untuk kemudian meminta maaf. Juga bukan sekadar saat untuk melakukan refleksi dan mengungkap resolusi. Lebih dari itu menjadi ajang berkumpul keluarga. Apalagi kalau masih melibatkan keluarga dalam jumlah lebih besar.

Siapa saja pesertanya? Bisa jadi hanya keluarga dalam lingkup terdekat. Bapak, ibu dan anak-anak. Namun tidak tertutup kemungkinan keluarga lain juga bergabung. Seperti tulang namboru atau ompung. Khusus untuk acara mandok hatanya sendiri biasanya dimulai dari yang paling muda berurutan sampai anak tertua. Kemudian orang tua akan bergiliran. Ibu kemudian bapak. Atau kalau ada keluarga lain, ditutup dengan keluarga tertua. Ompung atau tulang. Karena secara adat, tulanglah yang tertua.

Kalau kita bagi dalam rentang waktu, mandok hata tetap menjadi momok. Sampai sebelum remaja, kita akan merasa terbeban. Atau merasa sebagai gangguan. Karena biasanya sudah terlelap, kita akan dipaksa bangun untuk ikut acara. Bahkan merasa sebagai ajang untuk membuka aib atau kesalahan selama setahun. Selain itu, karena merasa masih kecil, kita dipaksa untuk menyampaikan sesuatu kepada banyak orang (meskipun hanya keluarga).

Saat remaja kita akan merasa terganggu dengan tradisi ini. Kita kehilangan kesempatan untuk merayakan pergantian tahun dengan teman main kita. Suka tidak suka, kita sering cemburu dengan teman-teman lain. Ketika yang lain menjalani detik pergantian tahun dengan pesta kembang api atau barbekyu, kita masih berkutat dengan prosesi yang mungkin membosankan.

Setelah lulus kuliah, mandok hata akan menjadi mengesalkan. Karena biasanya pertanyaan atau poda yang akan diterima akan berkutat pada urusan ‘masa depan’. Kapan nikah? Apa lagi yang kau tunggu? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering dianggap mengganggu.

Soal pelaksanaan, beberapa keluarga sudah melakukan pembaharuan dengan menggeser waktu pelaksanaannya. Kalau dahulu dimulai persis ketika hari berganti, dan berakhir beberapa jam setelahnya. Sekarang sudah banyak keluarga yang memulainya lebih awal. Sehingga selesainya bisa lebih cepat. Dan akhirnya peserta bisa mengikuti pesta pergantian tahun layaknya orang lain. Selain itu ada juga keluarga yang menambahkan acara lain sebelum dimulainya prosesi mandok hata. Sekadar kumpul ngobrol atau barbekyu bersama.

Meskipun kita pernah menjadikannya sebagai momok, dalam beberapa kondisi sering kita merindukan suasana mandok hata di akhir tahun. Entah karena setelah dewasa kita akhirnya merantau dan jauh dari keluarga, atau karena mungkin keluarga sudah tidak selengkap dahulu. Lantas bagaimana kemudian kita menyikapi ketika dianggap sebagai momok? Dibawa santai aja! Karena toh pesertanya merupakan keluarga sendiri. Jangan sampai kita bisa bebas bicara dengan orang lain, namun dengan keluarga sendiri kita enggan.

Lepas dari ragam sikap kita menghadapi mandok hata, harus diakui bahwa tradisi mandok hata mengajari kita banyak hal. Meskipun kita belum memiliki data apakah tradisi ini hanya berlaku pada agama tertentu atau semua Batak menjalankannya. Malam ini juga kita tahu acara serupa juga ada di Amerika. Namun bukan dilakukan pada akhir tahun, tapi saat thanksgiving yang biasanya dilaksanakan pada akhir Oktober.

Dari mandok hata, kita belajar bahasa Batak. Karena orang tua kita biasanya menyelipkan bahasa Batak dalam menyampaikan nasihatnya. Kita juga belajar untuk berani bicara, berani mengakui kesalahan, kemudian berani minta maaf. Selain itu biasanya kita akan menyampaikannya dengan runut. Apalagi kalau dalam acara adat bukan acara akhir tahun. Kita akan mulai dengan mengenalkan diri untuk kemudian menyampaikan poin-poin yang akan kita sampaikan. Tidak bisa disangkal hal tersebut berguna ketika kita implementasikan dalam organisasi diluar keluarga. Semacam dunia kampus atau dunia pekerjaan.