Siapa tidak kenal TobaDream? Komunitas budaya yang digagas oleh tokoh Batak bernama Monang Sianipar dan
dijalankan oleh putranya Viky Sianipar. TobaDream mengambil semboyan “Save the music, save the culture, save the nature”. Merawat musik, merawat budaya dan merawat alam.

TobaDream adalah gerakan budaya yang diawali dengan sebuah konser bertajuk Save Lake Toba pada tahun 2001. Amang Monang Sianipar sebagai penggagas konser menantang putranya Viky Sianipar yang kebetulan seorang pemusik yang awalnya tidak suka dengan Batak, untuk menjadi music director. Tantangan dari sang bapak dijabanin. Konser berjalan dengan sukses. Lagu-lagu yang mengisi konser inilah yang akhirnya menjadi pengisi album TobaDream awal. Lahirlah album TobaDream pertama pada tahun 2002.

Dari situlah semua bermula. Berdirilah lapo batak bernama TobaTabo dengan konsep yang lebih modern. Harapannya lapo ini nyaman buat semua orang termasuk mereka yang berdasi dan berjas. Bagaimana budaya tradisional dikemas dengan packaging modern. Disediakan juga wifi atau co-working space. Setelah itu dikembangkan juga TobaDream Café, yang berkonsep café keluarga.

Akhirnya TobaDream bukan sekadar album lagu. Tetapi menjadi sebuah gerakan dan sudah dilembagakan. Dan lewat gerakannya, memberi banyak kepada bona pasogit. Mereka pernah juga melakukan gerakan menanam pohon (reboisasi).

Kadang dalam melakukan hal tersebut mereka juga menemukan hal lain yang bisa dibantu. Memberi buku atau membantu sekolah di sekitarnya misalnya.

Bagaimana pandangan Viky Sianipar terhadap pembangunan pariwisata di Danau Toba? Masih banyak yang harus diperbaiki memang. Kita memahami bahwa sesaat ketika malam menjelang, seolah sudah tidak ada kehidupan. Tidak ada yang bisa dinikmati. Dari sisi alam, apa yang ada di sekitar Danau Toba mungkin juga ada di elahan dunia lain. Di Austria misalnya.

Padahal kita punya banyak yang masih bisa ditonjolkan. Banyak cerita, legenda atau  turi-turian  yang  tumbuh  di  masyarakat  yang  belum  pernah  digali.  Di Skotlandia, Eropa ada sebuah danau yang dipercayai memiliki hewan (monster) bernama loch ness. Sampai sekarang tidak ada yang melihat binatang tersebut. Namun   cerita   itu   terus   diperlihara   dan   mendunia   sehingga   memancing kedatangan turis. Atau apa yang disebut sebagai Area 51. Sebenarnya hanyalah wilayah  tandus  di  Amerika  yang  dipercaya  pernah  didatangi  oleh  alien.  Sama seperti monster Loch Ness, tidak ada yang pernah melihat namun menjadi daya tarik sendiri. Daerah seputar Danau Toba memiliki legenda yang kalau digarap bisa menjadi ratusan episode serial.

Untuk pengembangan wisata di Danau Toba, Viky berpandangan bahwa pendekatan yang dilakukan untuk membangun Bona Pasogit haruslah berbeda. Tidak bisa menggunakan pendekatan textbook. Karena masyarakat disana memiliki keunikan. Sebagaimana kita tahu, semua anak ni raja dohot boru ni raja. Ada prinsip Dalihan Na Tolu yang dipelihara. Bagaimana mungkin misalnya mereka yang bukan warga Dalihan Na Tolu memahami prinsip ini. Karena yang bisa memahami harusnya adalah warga Dalihan Na Tolu juga.

Selain itu ada semacam dikotomi antara penduduk lokal dan perantau. Ada perbedaan paradigma antara perantau dan penduduk lokal. Sebenarnya keduanya benar dan tidak bisa disalahkan. Mereka yang ada di kampung akan menganggap pendatang adalah orang sukses dan bisa dimintai sumbangan dalam bentuk mark up harga jualan misalnya. Sementara perantau, ternyata tidak semua sesukses yang dibayangkan. Akhirnya ada semacam jera ketika mereka akan pulang kampung. Bagaimana kita menyikapi? Satu hal yang kita harus kita sadari adalah ketika kita keluar dari comfort zone kita, saat itulah kita akan bisa punya perbandingan dengan daerah asal kita. Itu yang terjadi dengan keluarga kita yang masih tinggal di sana. Mungkin karena mereka belum melihat dari sisi luar. Selain itu ketika ada perantau yang pulang, mereka dianggap berhasil dan kepada mereka ada pengharapan yang cukup tinggi. Sehingga menjadi kapok.

Dengan segala capaian selama ini, bagaimana orang Batak melihatnya hasil karya Viky Sianipar? Untuk anak muda, semakin banyak yang mengenal budaya Batak. Mereka yang lahir dan besar di perantauan berterima kasih karena aransemen lagu yang dibuat, membuat mereka menyukai lagu dan budaya Batak. untuk orang tua, mungkin awal rilis album TobaDream, banyak orang tua Batak yang tidak suka dengan aransemennya. Namun tidak sedikit juga yang berterima kasih karena akhirnya anak-anak mereka yang tadinya tidak suka atau tidak tertarik Batak, menjadi semakin mencintai.

Lantas bagaimana Viky Sianipar menyikapi kondisi semua itu? Apakah terpikir untuk membuat karya yang mengkritik pemerintah, menyalahkan keadaan atau memuntahkan kemarahan? Ternyata tidak!. Viky memilih untuk mengkritik atau protes dalam caranya sendiri. Tercipalah lagu Tona Ni Tao dan Suan. Lagu Tona ni Tao semacam pesan dari Danau Toba kepada manusia, warga sekitarnya. Untuk menjaga Tao. Sementara lagu Suan adalah ajakan untuk menjaga alam. Menanam pohon yang diharapkan untuk menjadi sumber kehidupan banyak orang. Pesan penting dari lagu Suan terletak pada lirik terakhir. Ala ndang hita nampuna tano on. Kita bukanlah pemilik tanah ini. Kita hanya mendapat titipan dari anak cucu kita sebagai pemilik tanah ini.

Apa mimpi Viky Sianipar yang ingin dicapai dari semua yang sudah dijalani? Satu saat musik Batak kembali pada posisi semestinya. Terletak di tempat yang tinggi. Kalau kita perhatikan gondang selalu diletakkan di atas rumah gorga. Untuk meminta memainkannya pun dibutuhkan cara khusus. Dari sisi budaya, etika orang Batak kembali pada awalnya. Hosom Teal Late kita tinggalkan. Prinsip Dalihan Na Tolu yang Somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu. Dari sisi alam, manjou mulak mata ni mual. Mengembalikan mual atau mata air sebagai sumber kehidupan manusia. Selain itu mual juga perlambang anak muda. Bagaimana anak muda Batak, kembali ke akarnya.