Tarombo adalah istilah dalam bahasa Batak yang kurang lebih berarti silsilah. Atau sistem marga dalam masyarakat Dalihan Na Tolu atau sistem kekerabatan. Dalam berinteraksi dengan sesama warga Dalihan Na Tolu, seringkali kita mendekatkan diri dengan cara menarik garis tarombo. Atau menggunakan istilah martarombo yang artinya kurang lebih menarik garis silsilah atau membicarakan kedudukan masing-masing dalam sistem kekerabatan.

Dengan martarombo kelihatan asal usul satu marga atau hubungan kekeluargaan. Ditarik lebih jauh, dimulai dari apa yang dipercaya sebagai orang Batak pertama, Si Raja Batak. Untuk kemudian secara turun temurun diteruskan ke bawah sesuai garis keturunan anak lelaki. Mengingat orang Batak menganut paham patrilineal, yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah.

Terkait tarombo dan martarombo ini, pepatah Batak yang berbunyi “Jolo tinitip sanggar bahen huru-huruan. Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan” sangat relevan.

Ada literatur yang mengatakan terdapat dua jenis tarombo yaitu:

  • Tarombo Turunan
  • Tarombo Partuturan

Tarombo Turunan, mengacu pada silsilah dalam arti garis keturunan. Dalam pergaulan sehari-hari tarombo jenis ini muncul ketika dalam berkenalan dan sudah saling mengetahui marga masing- masing yang masih satu marga (misalnya sesama Tambunan, sesama Siahaan, dan seterusnya) saling bertanya atau menyebut satu angka atau nomor. “Nomor piga ma ho/hamu?” Setelah itu, hubungan kekerabatan akan ditarik dari perbedaan atau kesamaan nomor itu.

Saling menyapa abang dan adik untuk nomor yang sama. Biasanya untuk mengetahui siapa berposisi sebagai abang dan adaik ditarik lagi dari garis keturunan ompung. Misalnya ketika sama marga Siahaan dan bernomor sama, akan didetailkan lagi dengan bertanya pomparan (keturunan) ompung mana. Yang jika diurut mulai dari yang paling tua sampai yang paling muda adalah, Siahaan Sibunton, Siahaan Hinalang, Siahaan Juara Monang, Siahaan Lumbangorat, dan Siahaan Tarabunga. Siahaan Hinalang akan menyapa abang (dan sebaliknya adik) kepada Siahaan Sibuntuon ketika bernomor sama. Atau menyapa Bapatua/Bapauda dan Anaha ketika nomornya selisih satu. Hal ini berlaku juga untuk marga lain.

Menyapa Among (Bapak) dan Anaha (Anak) atau Boru (putri). Siahaan bernomor 16 akan memanggil among kepada Siahaan bernomor 15. Boru Siahaan no 16 akan memanggil Namboru kepada Siahaan bernomor 15. Sebaliknya Siahaan bernomor 15 akan memanggil Maen kepada boru Siahaan bernomor 16. Ini berlaku untuk yang nomornya berbeda satu tingkat (selisih satu). Atau memanggil Ompung dan Pahompu untuk nomor yang berbeda dua tingkat (selisih dua).

Karena dalam sistem kekerabatan orang Batak sapaan Ompung adalah sapaan yang paling tinggi, ketika selisih nomor sudah lebih dari dua, maka saapaan akan diulang lagi dari yang ada. Misalnya bertemu dengan mereka yang nomornya selisih tiga nomor, maka sapaan akan mengulang lagi atau sama dengan yang selisih satu. Demikian seterusnya. Sebagai contoh untuk sesama laki laki yang nomornya selisih tiga, panggilan dari yang muda kepada yang tua adalah Bapatua jika dari garis keturunan Bapak. Atau Tulang ketika dari garis keturunan Ibu. Tambunan yang yang bernomor 19 misalnya, akan menyapa bapatua kepada Tambunan bernomor 16. Tambunan yang dilahirkan Siahaan bernomor 16 misalnya akan memanggil Tulang kepada Siahaan bernomor 14.

Darimana nomor itu bermula? Biasanya nomor satu disematkan pada pemilik marga pertama kali. Atau ditarik satu tingkat di atas marga itu. Demikianlah nomor diturunkan. Satu nomor mewakili satu generasi. Dan rata-rata, nomor yang ada saat ini ada pada kisaran 20an. Kurang lebih. Artinya marga tersebut sudah ada 20an generasi. Dan jika kita asumsikan satu generasi berumur 20an tahun (dalam arti menikah dan berketurunan pada usia 20an tahun) maka bisa disimpulkan sementara usia marga itu sekitar 400an tahun. Jika ditambahkan ke atas ke si Raja Batak, mungkin berusia kurang lebih 450 atau 500 tahun lalu. Jadi kalau antar orang Batak saling bertanya, “Nomor berapa kau?” Itu berarti generasi ke berapa dalam marga tertentu. Nomor 17 berarti generasi ke 17 dalam marganya. Demikian seterusnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, selain merawat silsilah marga tersebut dalam bentuk tertulis (buku atau poster yang biasa dibuat menjadi hiasan dinding), beberapa marga sudah mulai merawat tarombo dalam bentuk elektronik atau berbasis internet (daring).

Tarombo Partuturan. Berbeda dengan tarombo turunan, tarombo ini lebih kepada mencari hubungan kekerabatan dalam konteks Dalihan Na Tolu. Apakah seseorang menyapa hula-hula, dongan tubu, atau boru kepada orang lain. Jenis ini misalnya muncul ketika setelah berkenalan dan tidak ada hubungan marga dari sisi silsilah, hubungan kekerabatan itu ditarik dari pihak ibu. Misalnya seseorang yang beribukan Siahaan ketika bertemu dengan seorang bermarga Siahaan biasanya secara otomatis akan menyapa Tulang. Dan penting dipahami bahwa ini hanya berlaku untuk sapaan Tulang atau Hula-Hula. Ini bukan hanya berlaku untuk kondisi saat ini. biasanya ditarik sampai ke nenek moyang. Misalnya marga Simanjuntak ketika bertemu Hasibuan atau Sihotang akan menyapa Tulang. Karena Raja Marsundung (yang menurunkan marga Simanjuntak) menikah dengan boru Hasibuan lalu kemudian setelah duda menikah dengan Sobosihon boru Sihotang.

Sebagai warga Dalihan Na Tolu, masing-masing kita mungkin diwariskan pemahaman mengenai tarombo ini dari orang tua kita. Meski menganut patrilineal, bukan berarti pemahaman mengenai tarombo hanya dilihat dari posisi bapak. Penting juga untuk mengetahui tarombo atau silsilah dari sisi ibu.

Masihkah tarombo dan martarombo relevan dengan kondisi sekarang? Dalam beberapa kesempatan interaksi, seperti yang berurusan dengan pekerjaan atau perantauan misalnya, pemahaman martarombo ini bisa sangat berguna. Bayangkan kalau menghadapi kondisi merantau di daerah lain yang jauh dari kampung halaman, dengan martarombo hubungan kekerabatan bisa mencairkan hubungan.