Puro berarti pundi-pundi atau kantong uang. Seperti biasa terlihat pada beberapa cerita atau film berlatar zaman dahulu, orang menyimpan uang pada kantong yang terbuat dari kain atau kulit binatang. Sebelum dompet dikenal sebagaimana zaman sekarang.
Turunan dari puro ini dikenal satu istilah yang disebut sitiop puro yang berarti bendahara. Pada masa sekarang istilah ini sudah jarang terdengar. Mungkin kalaupun pernah fungsi ini sering disebutkan ketika ada pesta. Siapa nanti yang akan berdungsi sebagai bendahara, kepada siapa semua biaya untuk kebutuhan pesta diminta. Atau dari siapa uang akan keluar. Tapi seringkali ketika pesta unjuk, sitiop puro adalah ibu pengantin.
Dengan penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa sitiop puro merupakan dia yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan. Nah kondisi ibu sebagai sitiop puro hampir terjadi di setiap keluarga orang Batak sebagaimana juga mungkin keluarga dari suku lain. Hal ini mau gak mau terbawa ke dalam punguan marga. Jika kita perhatikan, yang menjadi bendahara hampir pasti adalah ibu, minimal Boru (dalam pengertian suami dari boru marga tersebut).
Bagaimana sebenarnya mengelola keuangan? Bisanya diinspirasi oleh kondisi keuangan orang tua kita. Dengan latar belakang orang tua yang berbeda-beda seperti pegawai negeri, pegawai swasta atau pengusaha, biasanya apa yang kita lihat sejak kecil akan menginspirasi kita dalam hal mengelola keuangan. Mungkin dengan variasi dengan metoda yang kita lihat, pelajari dari kegiatan sharing dengan teman.
Semuanya dimulai ketika masih kecil, masih sekolah. Untuk yang tidak dibiasakan diberi uang jajan secara rutin, mungkin tidak ada yang harus dikelola. Tapi untuk yang rutin diberi uang jajan, mau gak mau sejak dini kita belajar bagaimana mengelola keuangan. Bagaimana agar uang harian, mingguan atau bulanan, pas untuk kebutuhan kita sehari-hari. Entah itu sekadar jajan atau kebutuhan atau kemewahan lain. Jika ada lebih mungkin ada yang sudah terbiasa menabung. Bisanya kebiasaan menabung ini dipicu oleh keinginan untuk memiliki sesuatu yang untuk membelinya butuh uang tidak sedikit. Namun ada juga yang ternyata berinisiatf menabung setelah dewasa. Setelah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Entah karena kebutuhan atau kesadaran, ataupun karena terinspirasi setelah melihat orang lain.
Ada kisah menarik ketika seorang suami yang nota bene pencari nafkah, semua keuangan bahkan hingga ATM dipegang oleh istri. Sang suami diberi ‘jatah’ sesuai kebutuhan keseharian. Dalam keluarga Batak, hal seperti ini sepertinya kurang elok. Karena bagaimanapun suami adalah kepala rumah tangga, pemimpin. Kurang elok apabila misalnya dalam satu kesempatan pada satu keramaian, suami tidak punya uang untuk membayar sekadar segelas kopi. Tongka. Maila hita.
Dalam hubungan dengan orang tua, ketika sudah berkeluarga bagaimana mengelolanya. Karena bagaimanapun meski orang tua tidak pernah berharap kita memberi sesuatu kepada mereka. Tinggal bagaimana kita sepakat dengan pasangan kita. Kak Mei sharing bahwa ada semacam silang perhatian. Saling mengurus mertua masing-masing. Suami mengurus mertuanya, demikian juga istri kepada mertuanya. Namun tentu saja hal ini bisa terjadi ketika baik suami maupun istri sama bekerja.
Soal bagaimana mengelola keuangan selain daripada tujuan pengelolaan itu sendiri, kembali pada gaya hidup masing-masing. Sebagai contoh misalnya, ketika sudah bekerja dan bergaji sejuta kita bisa manyisihkan uang 100 ribu untuk ditabung, apakah ketika bergaji dua juta kita hanya sekadar melipatgandakan tabungan menjadi 200 ribu? Ternyata harusnya enggak. Harusnya justru bisa menabung sejuta seratus. Karena bukankah kita sudah terbiasa dan bisa ‘hidup’ dengan hanya sembilan ratus? Kenapa ketika pendapatan meningkat dua kali lipat, kita hanya menambah sedikit pada jumlah yang ditabung? Pada akhirnya gaya hiduplah yang harus kita sesuaikan agar dalam mengelola keuangan tidak menjadi rem.
Dalam kondisi pasangan sama bekerja, beberapa teman yang sharing memberi insight bahwa pengeluaran untuk asisten rumah tangga maupun baby sitter misalnya, menjadi tangggung jawab istri. Karena bagaimanapun keberadaan mereka merupakan kompensasi dari ketidakhadiran istri dalam melakukannya.
Yang menarik juga adalah beberapa teman yang masih lajang sudah berpikir untuk bagaimana mengelola keuangan nanti ketika sudah menikah. Mulai dari berencana menerapkan perjanjian pisah harta, atau membuka rekening bersama yang diniatkan untuk tujuan tertentu pada akhirnya nanti.
Menarik juga mendengar sharing beberapa teman bahwa selain menabung, dalam mengelola keuangan banyak teman yang sudah melek investasi. Mungkin detail soal mengelola keuangan dan investasi akan kita bicarakan dalam dua Selasa ke depan di room Café Partungkoan berikutnya.