Hubungan antara mertua dan menantu yang sama-sama perempuan selalu menarik. Penuh dinamika dan unik. Bukan hanya dalam keluarga umumnya, dalam keluarga Batak hubungan simatua (boru) dan parumaen ini pun mengalami hal yang sama dan sering jadi perbincangan. Bagaimana sebenarnya naposo Batak melihat fenomena ini? Penting untuk diingat, pemilihan versus pada judul bukanlah untuk melihat atau memperlihatkan ada persaingan antara keduanya. Namun lebih kepada melihat hubungannya.

Satu pertanyaan yang sering membayangi naposo Batak dan menginspirasi topik ini adalah adanya pertanyaan pentingkah seorang parumaen bisa masak? Atau kalau bisa masak, perlukah sampai pintar sekali seperti chef Renata misalnya. Seperti apa? Mungkin yang penting adalah tidak gagap-gagap amat. Setidaknya bisa memasak hidangan standard tanpa harus pintar atau jago masak. Bagaimana sebenarnya persiapan yang bisa dilakukan?

Untuk naposo perempuan, beberapa teman yang berbagi menyampaikan bahwa orang tua mereka terutama ibu, bahkan sudah mewanti-wanti anak gadisnya sejak awal untuk berlaku baik. Agar nanti ketika telah menikah mempunyai hubungan baik terutama dengan mertua boru. Paling dasar, soal bangun pagi misalnya. Atau dalam hal mengerjakan pekerjaan domestik (rumah tangga) menjadi perhatian ibu agar bisa dilakukan oleh borunya.

Ada juga orang tua yang menitip pesan kepada borunya untuk mencari mertua yang bisa mengajari. Mungkin karena beliau sadar kemampuan borunya dan ketika telah menikah, bisa belajar dan tidak malu-maluin. Ada juga yang berpesan agar borunya mencari mertua yang punya pola pikir sederhana. Dalam kehidupan keseharian, bahkan kalau perlu dimulai dari pesta pernikahan yang sederhana.

Kita tidak bisa memilih mertua kita, yang kita pilih adalah pasangan kita. Ketika kita telah memilih pasangan, kita harus siap menerima kondisi keluarganya juga.

Namun apakah sebenarnya kita bisa memilih mertua kita? Bukankah yang pertama dan utama dijalin adalah hubungan antara naposo. Mertua entah laki atau perempuan semacam sudah given. Karena begitu kita memilih seseorang menjadi pasangan hidup kita, mau tidak mau kita harus juga menerima dia dan keluarga (besar) nya. Kita tidak bisa memilih mertua kita. Yang kita pilih adalah pasangan kita. Jika perlu concern keluarga ini bisa dijadikan pertimbangan ketika memilih pasangan. Daripada terlanjur ternyata banyak ketidakcocokan dan menjadi ganjalan nanti.

Lantas bagaimana menghadapi mertua, seandainya ada ketidakcocokan? Harus diingat, kitalah yang harusnya mengubah karakter kita. Untuk selanjutnya dapat menyesuaikan diri dengan simatua. Sebab apapun sikap kita di hadapan keluarga pasangan kita, hal tersebut merupakan cerminan keluarga kita di hadapan keluarga lain.

Kitalah yang harusnya mengubah karakter kita. Untuk selanjutnya dapat menyesuaikan diri dengan simatua.

Beruntunglah mereka yang sejak pacaran sudah bisa dekat dan menjalin hubungan baik dengan calon simatuanya. Harapannya dengan demikian, hubungan mertua dan menantu setelah terjadi pernikahan, akan tetap terjaga dengan baik. Bagaimana ketika posisi masih dalam taraf menjalin hubungan? Seharusnya masing-masing bisa mengambil peran mengenalkan baik pasangannya kepada keluarganya, dan keluarganya kepada pasangannya. Dengan demikian setelah pernikahan mengenal dan memiliki pemahaman masing-masing.

Kembali pada hubungan dengan simatua boru, seberapa penting? Dalam keluarga, peran ibu sangat besar dalam membentuk karakter dan menjadi tiang keluarga. Itu menjadi alasan terbesar penting untuk menjalin hubungan baik dengan simatua boru. Jika perlu, servis simatua boru dulu. Baru ‘servis’ orang tua kandung. Karena bagaimanapun orang tua kandung (mama) sudah lebih dulu mengenal kita dan harusnya bisa mengerti pilihan sikap yang kita ambil. Bisa juga menjadi pilihan saling-silang memberi perhatian. Suami memberi perhatian pada mertuanya, demikian juga dengan istri kepada mertuanya.

Bagaimana peran parumaen? Parumaen kadang bisa mengambil peran sebagai kakak kepada adik-adik suaminya. Terutama mungkin dengan ito dari suaminya. Hubungan yang juga kadang dianggap kurang harmonis, bisa dibuat dengan lebih baik. Selain itu juga, bagaimana istri bisa menjaga ‘rahasia’ keluarga/rumah tangganya di hadapan keluarga besar. Jangan sampai menceritakan kepada orang lain meski masih keluarga. Lebih baik menceritakan kepada simatua. Kepada orang tua pasangan kita.

Sebenarnya kenapa hubungan antara simatua boru dan parumaen itu sering dianggap tidak harmonis? Apakah karena ada conflict of interest di antara mereka. Apakah karena di antara mereka ada semacam ‘perseteruan’ dan akhirnya menimbulkan perasaan posesif kepada sosok anak/suami? Mungkin karena simatua boru merasa lebih mengenal anaknya, karena dialah yang melahirkan dan merawat dari kecil. Itu juga yang kadang menyebabkan simatua bisa menyalahkan istri ketika beliau melihat ada hal yang dirasa tidak cocok dengan apa yang biasa dilakukannya kepada anaknya.

Sebaliknya istri merasa lebih mencintai suaminya. Tantangan ini akan semakin terasa besarnya ketika pasangan masih tinggal bersama orang tua. Bagaimana bersikap terhadap mertua menjadi penting.

Tantangan hubungan mertua dan menantu ini akan semakin terasa besarnya ketika pasangan masih tinggal bersama orang tua. Namun tidak menjadi penghalang. Karena yang penting adalah bagaimana bersikap terhadap mertua.

Lantas bagaimana seandainya hubungan antara simatua boru dan parumaennya kurang harmonis? Harusnya suami menjadi jembatan di antaranya. Bisa menjadi penengah. Apapun kekurangan ibunya, dikomunikasikan dengan istrinya. Demikian sebaliknya, apapun kekurangan istrinya, dikomunikasikan kepada ibunya. Dengan demikian, suami menjadi jembatan yang mempertemukan gap di antara simatua boru dan parumaen. Hubungan itu haruslah dilandasi dengan komunikasi yang baik dan kerendahan hati.

Setelah pernikahan, masing-masing simatua boru dan parumaen, haruslah bisa menempatkan posisinya pada posisi hubungan orang tua dan anak. Bukan semata mertua menantu. Artinya bagaimana simatua menganggap parumaen sebagai borunya. Dan sebaliknya, parumaen menganggap simatua sebagai orang tuanya.

Bagaimana simatua menganggap parumaen sebagai borunya dan sebaliknya parumaen menganggap simatua sebagai orang tuanya.

Penting untuk diingat bahwa dalam merawat setiap hubungan termasuk hubungan mertua dan menantu, yang harus diutamakan adalah bagaimana kita bersikap. Kita tidak bisa berharap orang lain atau pasangan kita menyayangi keluarga kita kalau kita tidak terlebih dahulu menyayangi mereka. Kalau itu sudah dilakukan, pasangan kita juga akan menunjukkan hal sama.

Selain itu, ada pesan orang tua yang mengingatkan agar boru ketika menjadi parumaen (terutama ketika menjadi parumaen untuk anak siangkangan) menjadi parbahul-bahul na bolon. Artinya mereka yang memiliki pundak (makna harfiah) besar. Mampu menahan beban, seberat apapun beban yang ada.

Mau menikah masalahnya satu, setelah menikah masalahnya sembilan puluh sembilan.