Masih dalam semangat Sumpah Pemuda, malam ini kita disksusi mengenai kebanggaan menjadi orang Batak. Salah satu unsur penyokong lahirnya Sumpah Pemuda yang terkenal itu bernama Jong Bataks Bond. Namun benarkah kita bangga menjadi orang Batak? Apa yang kita banggakan sebagai orang Batak? bagaimana kita menyikapi kondisi tersebut dalam kehidupan sehari-hari?

Kalau bicara dalam pergaulan sehari-hari, kita sebagai Batak sudah dikenal sejak dari mulai berbicara. Logat kita yang mungkin berbeda dari suku lain, kadang justru membuat kita bangga karena berbeda. Selain itu, sudah sejak dulu orang Batak terkenal memiliki solidaritas yang tinggi. Menjaga kekerabatan yang diturunkan oleh leluhur. Meskipun dalam perantauan kadang sifat itu mungkin berkurang, namun tidak luntur sama sekali. Sistem kekerabatan yang diturunkan dalam bentuk tarombo dan Dalihan Na Tolu (dengan nama berbeda pada kelima puak yang ada), terbukti mampu merawat kekerabatan dan mempererat hubungan kekerabatan.

Lepas dari kebanggaan yang ada, beberapa dari kita pernah merasakan hal yang tidak menyenangkan ketika masih kecil yang dipicu oleh kondisi kita yang orang Batak. Apalagi jika dikaitkan dengan mayoritas orang Batak yang beragama Kristen, seolah melengkapi kesan minoritas. Dalam interaksi sering merasa berbeda dari yang lain. Meskipun ada teman yang kebetulan berorangtuakan campuran (Batak dan Non Batak) justru merasa lebih cepat dalam berbaur dengan suku Batak daripada non Batak. justru itu yang membuatnya bangga sebagai keturunan Batak.

Namun ternyata kesan dipinggirkan tersebut, akhirnya membuat kita menjadi presisten. Gigih, teguh dan kukuh. Sifat yang akhirnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang dilambangkan dalam ornamen boraspati (cicak) pada rumah adat Batak. Boraspati dianggap sebagai lambang orang Batak mampu bertahan dan hidup dalam berbagai situasi dan kondisi. Selain Boraspati, dalam setiap rumah adat Batak banyak simbol yang kalau kita pelajari satu per satu memberi tahu kita bahwa orang Batak telah memiliki falsafah dan filosofi sejak dahulu. Lambang empat ‘gundukan’ misalnya. Melambangkan payudara wanita yang disebut tarus. Konon merupakan lambang kesuburan. Dari situ kita melihat kalau Batak memiliki budaya yang kaya dan dianggap unggul daripada yang lain.

Hal lain yang menjadi kebanggan kita sebagai bangso Batak adalah, suku Batak sudah memiliki sistem kekerabatan, sistem hukum, bahasa, aksara dan penanggalan sendiri. Hal tersebut merupakan bukti bahwa kita memiliki budaya tinggi sejak dahulu kala. Selain alamnya yang indah dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Jejak sistem hukum (adat) ini masih bisa terlihat sampai sekarang. Contohnya adalah batu parsidangan yang ditetapkan menjadi situs sejarah di desa Siallagan, Pulau Smosir. Konon katanya merupakan bentuk pengadilan yang dilakukan oleh leluhur kita pada zaman dahulu. Di sanalah Raja Siallagan bersama tetua adat dan permaisuri mengadili dan menghukum warga yang berbuat kejahatan di sana. Situs ini letaknya di bawah pohon hariara (beringin). Di sana terdapat kursi-kursi yang terbuat dari batu dan melingkari meja batu. Tempat itulah yang kini dinamai Batu Parsidangan. Dalam urusan aksara, bahasa dan sastra, kita juga patut berbangga karena sebenarnya sudah sejak dahulu memiliki aksara sendiri. Hal mana yang tidak banyak suku memilikinya2. Banyak literasi leluhur kita yang dituliskan pada kulit kayu yang disebut laklak, diboyong ke benua Eropa terutama Belanda. Banyak peneliti kita yang akhirnya terbang ke Leiden, untuk mempelajari budaya Batak melalui lipatan kulit kayu tersebut. Konon laklak ini berisikan banyak hal. Mulai dari soal pengobatan, ramalan, kepercayaan, padan dan silsilah.

Sebenarnya kalau kita mau belajar bahasa, tanpa bermaksud untuk memihak pada satu agama, alkitab adalah sarana belajar bahasa batak yang paling lengkap. Mengapa demikian? Karena ketika para misionaris masuk ke tanah Batak, yang pertama mereka lakukan adalah ‘masuk’ melalui budaya orang Batak. Mereka mempelajari budayanya terlebih dahulu, kemudian menuliskan dalam bahasa Batak agar mudah dipahami (calon) jemaatnya. Dalam sistem kekerabatan, kita juga patut berbangga karena kita memiliki sapaan berbeda untuk kekerabatan. Kita menyapa tulang kepada saudara lelaki ibu dan nantulang kepada istrinya. Kita menyapa namboru kepada saudara perempuan bapak dan amangboru kepada suaminya. Kita juga punya kata butuha namun punya istilah siubeon (yang lebih halus) untuk menyebut perut. Punya istilah ulu (kata biasa) dan simanjujung (istilah lebih halus) untuk menyebut kepala. Dan seterusnya. Satu hal yang kita perlu banggakan dari budaya Batak adalah adanya konsep Dalihan Na Tolu. Tungku nan bersusun tiga. Tungku yang terdiri dari tiga batu yang disusun sedemikian rupa agar kuali yang ada di atasnya ajeg duduknya dan bisa digunakan memasak. Ketiga batu tersebut melambangkan tiga peran dalam kekerabatan Batak. Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru. yang kemudian diimplementasikan dalam semboyan, Somba marhula-hula (hormat kepada hula-hula), manat mardongan tubu (berhati-hati dengan teman semarga), elek marboru (ngemong kepada putri).

Konsep Dalihan Na Tolu tidaklah konsep yang statis. Tidak ada satu orangpun yang selalu selama hidupnya hanya menjadi hula-hula, tidak selalu menjadi boru. Ketiga peran tersebut melekat pada setiap diri orang Batak tergantung situasi yang dihadapinya. Seseorang yang bermarga Sibarani misalnya, menjadi dongan tubu diantara marga Sibarani. Namun dia menjadi boru diantara keluarga istrinya yang boru Simarmata misalnya. Dia juga bisa menjalankan peran sebagai hula-hula bagi keluarga ibotonya. Tidakkah itu menarik?

Sehubungan dengan itu, apakah kemudian budaya Batak bisa kita anggap menganut budaya patriarki? Yang menempatkan laki-laki sebagai sentral (kekuasaan) dan mendominasi? Tidak bisa juga dibilang begitu. Mungkin kesan boru hanyalah sebagai pihak yang ‘rendah’ muncul karena tugasnya yang marhobas. Namun bukankah mereka (boru) itu juga diberi peran dalam beberapa kesempatan? Ketika acara marhori-hori dinding sebagai langkah awal dalam menuju pernikahan Batak, boru mengambil peran penting disini.

Jika kita mencoba menghubungkan Dalihan Na Tolu dalam konsep tata negara yang menganut prinsip demokrasi, konon Dalihan Na Tolu merupakan pengejawantahan demokrasi sebenarnya Hula-hula diwakili oleh rakyat yang memberi ‘kuasa’ kepada borunya (eksekutif). Dan bersama parlemen (yang Dongan Tubu rakyat) mengawasi jalannya pemerintahan yang dijalankan eksekutif.

Pada akhirnya pandangan skeptis dari orang (suku) lain, kadang justru membuat kita merasa tertantang untuk menunjukkan kelebihan kita. Dan dari diskusi malam ini kita masih merasakan satu hal yang sama, Proud to be Batak!