Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, suku Batak termasuk tiga besar dari sisi jumlah penduduk di Indonesia.  Secara berurutan suku Jawa yang berjumlah 95,2 juta jiwa (40,2%), suku Sunda sebanyak 36,7 juta jiwa (15,5%) dan suku Batak sebanyak 8,5 juta (3,6%). Suku Batak tersebar di mana-mana. Mereka membangun komunitas dan konon mirip seperti Chinatown di beberapa negara. Semua diawali dari merantau.

Ada beberapa hal yang mendorong orang Batak akhirnya merantau. Meskipun kegiatan merantau bukan hanya milik orang Batak semata, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan merantau lekat dengan suku Batak. Lantas apa yang membuat orang Batak akhirnya merantau?

Konon dahulu kala orang Batak tinggal di dalam kampung yang terdiri dari satu marga saja. Kampung yang kadang dikelilingi tanah yang dibangun agak tinggi atau rerumpunan bambu. Ketika sudah dewasa dan akhirnya siap untuk menikah, mau gak mau mereka harus ada yang keluar kampung. Karena tidak mungkin menikah dalam kampung yang sama karena mereka masih dari rumpun marga yang sama.

Semakin kesini, terdapat beberapa hal yang mendorong orang Batak merantau. Beberapa teman sharing bahwa keputusan mereka merantau itu mau gak mau didorong oleh kondisi orang tua yang juga perantau. Pertama karena kondisi kampung halaman. Banyak yang bilang tanah Tapanuli tidak memiliki banyak pilihan untuk diolah selain daripada pertanian. Pernah sekitar tahun 80an, tanah Batak atau Tapanuli mendapat label sebagai peta kemisikinan. Tidak banyak perubahan di kampung halaman menjadi alasan kenapa akhirnya orang Batak merantau.

Bisa dibilang alasannya karena mencari pekerjaan. Memperoleh penghidupan yang lebih baik lagi. Dengan harapan sukses di tanah rantau. Dan memegang prinsip pantang pulang sebelum jadi orang. Mungkin ini juga yang dimaksud sepenggal lirik Anak Medan, biar banteng di kampung sendiri tapi banteng di perantauan. Selain itu ada alasan pribadi, tidak mau menjadi beban orang tua atau ingin mandiri. Ingin bertanggung jawab atas hidup sendiri. Hal ini sering terjadi untuk anak laki, misalnya. Beberapa malah memiliki misi pribadi semacam, rumah atau harta yang ada sekarang bukan miliknya. Sehingga dia harus mencari sendiri untuk dia.

Selain itu juga perantauan bisa terjadi karena alasan mencari pendidikan. Ingin bersekolah di tempat yang lebih baik lagi. Mungkin itu sebab kita melihat di Bandung, Jogja atau Malang untuk menyebut beberapa kota yang perguruan tinggi negerinya menjadi favorit pilihan banyak orang, banyak komunitas mahasiswa Batak. dan setelah lulus, sebagian besar dari mereka akan mencari kerja di kota tersebut atau tetap tinggal di Jawa dimana kota tersebut berada. Mau tidak mau alasan ini juga menjadi pilihan. Mengutip satu film, Djawa Adalah Koentji, pulau Jawa masih menjadi lampu yang menarik ‘laron-laron’ berdatangan.

Apa yang dilakukan orang Batak ketika merantau? Mencari komunitas orang batak! Punguan marga, gereja Batak dan seterusnya. Atau paling dekat, mencari komunitas yang berasal dari Medan. Kenapa demikian? Karena walaupun beda marga, beda kampung, ketika ada pendatang dalam satu komunitas mereka akan cepat untuk berbaur. Mereka punya alasan untuk menjalin kekerabatan. Karena ikatan kekerabatan yang dibangun. Belum lagi ketika ketemu biasanya akan mencoba mencari kedekatan lewat partuturan. Malam ini kita malah mengetahui, ikatan kekerabatan itu bahkan terjadi untuk keluarga yang di-ain.

Dari sini ada alasan kenapa orang tua kita selalu mengajarkan tarombo kepada kita. Minimal kita mengetahui asal usul marga kita. Marga ibu kita. Semakin banyak kita memahami tarombo kita, semakin baik menjadi bekal kita untuk merantau ketika akan memanfaatkan pemahaman itu ketika merantau.

Sisi lain dari cerita kita malam ini adalah ada semacam sistem MLM. Ketika seorang sudah sukses di perantauan, acap kali mereka akan mengajak keluarganya  untuk   ikut   dia.   Atau   malah  ketika  ada  yang   sudah  sukses di perantauan,  mereka menyediakan tempat tinggal bagi perantau yang baru datang dari kampung.

Banyak pengalaman lucu ketika akhirnya seseorang merantau. Sering dialami apa yang disebut culture shock. Budaya yang kita bawa dari kampung halaman ternyata tidak sama dengan budaya yang kita temui di kota tempat kita merantau. Mau tidak mau kita sebagai pendatang, harus membiasakan diri dengan budaya baru tersebut. Pada akhirnya merantau mengajarkan kita untuk memahami ragam budaya. Memahami sifat suku lain diluar Batak. Lebih menghargai toleransi.

Merantau dipercaya sebagai salah satu pengejawantahan dari tujuan hidup orang Batak. Mencapai Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon. Di perantauan mereka membuat jejak berupa perkampungan Batak, gereja (untuk yang beragama kristen), dan deretan lapo. Dengan cara itu, orang Batak di perantauan cepat berkembang. Hubungan kekerabatan (partuturan) menjadi dasar itu semua.

Lance Castle  dalam  The Ethnic  Profile of  Djakarta  menyebutkan,  orang Batak pertama kali merantau ke Jakarta tahun 1907. Jejak perantau pertama di Jakarta berupa   kebaktian   berbahasa   Batak pada 20 September 1919.  Mereka lalu membangun Gereja HKBP Kernolong Resort Jakarta yang tercatat sebagai gereja Batak tertua di Jakarta.

Tapi di balik semua itu, sejauh apapun orang merantau, kerinduan pulang tetap besar. Seramai apapun kota tempat kita merantau, Jakarta misalnya, ketika sendirian di perantauan rasa rindu kampung halaman tetap memanggil pulang. Kangen kampung halaman, menjadi penyakit yang selalu menghinggapi para perantau. Terutama untuk mereka yang merantau karena alasan sekolah atau sudah bekerja namun belum berkeluarga.

Leluhur kita punya banyak pesan untuk anak perantau. Salah satunya Pantun Do Hangoluan, Tois do Hamagoan. Artinya sopan, jujur berperangai baik membawa keselamatan. Sombong, anggap remeh, pandang enteng membawa kerugian.