Dalam hubungan muda-mudi, seringkali hubungan yang sudah mulai serius dan hendak dibawa ke jenjang yang lebih serius, menemui jalan buntu.  Hal  ini  sering  ditemui  dalam  hubungan  warga  Batak yang merupakan warga Dalihan Na Tolu (DNT). Hal ini terjadi karena sistem kekerabatan warga DNT yang masih tetap dipelihara ketat secara turun temurun.

Warga DNT mengenal apa yang disebut marga. Yang diturunkan secara garis patrilineal. Meskipun diturunkan melalui garis keturunan Bapak (laki-laki) tidak jarang perempuan Batak juga mengalami hal sama. Seringkali ketika kita muda-mudi Batak sudah menjalin hubungan, hubungan mereka harus kandas hanya kerena mereka ternyata masih mariboto. Entah masih satu marga yang sama atau masih satu rumpun marga yang sama (semacam Si Raja Oloan, Sonak Malela, dan seterusnya).

Tapi ternyata diantara marga serumpun pun sudah ada yang saling menikahi. Istilah yang sering disebut, marsibuatan. Contoh klasik adalah keturunan Sibagot Ni Pohan yaitu Tuan Somanimbil. Tuan Somanimbil memiliki tiga keturunan yaitu Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol. Kita sudah banyak menemukan ketiga marga ini saling menikahi. Mungkin pada marga lain juga sudah ada yang sama seperti itu.

Ternyata dalam perjalanan, bukan hanya hubungan semarga saja yang menjadi kendala. Ada pagar lain yang menghambat hubungan itu ketika hendak dibawa kepada tahap yang serius. Pagar itu bernama Padan. Arti harafiah padan adalah janji. Ketika ada dua marga yang dahulu kala marpadan, seringkali keturunannya diharuskan ikut janji atau padan yang disepakati nenek moyang mereka. Ada pepatah Batak yang berkata, “Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang. Togu hata ni uhum toguan hata ni padan”. Yang secara harafiah berarti, hukum memang kuat mengikat, tetapi ikrar atau janji lebih kuat lagi dari itu. Artinya, falsafah hidup orang Batak yang menganggap janji atau ikrar lebih kuat pengaruhnya daripada hukum.

Kondisi ini seringkali disebut sebagai tarito. Tidak sengaja ternyata masih mariboto. Tapi ternyata ada contoh lain. Dalam pengertian bukan satu marga. Seperti contoh misalnya, seorang perempuan berteman dengan lelaki yang ternyata satu marga dengan ibunya. Dalam hubungan kekerabatan Batak, teman lelakinya itu disapa Tulang. Kondisi ini sering dicandai dengan tartulang.

Semakin lebar lagi, ada juga hubungan yang pantang ketika ibu dari si lelaki dan ibu dari si perempuan masih satu marga. Dalam kekerabatan batak, orang tua mereka disebut dengan marpariban. Kakak beradik (sesama perempuan). Hal tersebut masih bisa juga dihitung sebagai tarito.

Lantas, apa sebenarnya sanksi yang biasa diterima oleh mereka yang melanggar kondisi tarito ini? Zaman dulu bisa jadi diusir dari kampung (huta). Atau kalau zaman sekarang dikucilkan dari adat. Tiap marga mungkin punya mekanisme masing-masing.

Yang menarik dari diskusi malam ini adalah, ketika satu pasangan mengalami kejadian ‘tarito’, yang terjadi orang tua malah menyarankan untuk melakukan penggantian marga salah satu diantara dua pasangan. Satu hal yang mungkin ganjil dan tidak mungkin terjadi. Namun, ketika kondisi tersebut terjadi dan pasangan tersebut telah menikah, bahkan pilihan itu yang diambil. Mungkin karena perkawinan terlanjur terjadi dan tidak mungkin dipisahkan lagi.

Pesan dari yang pernah mengalami, mending sejak awal ketika kita sudah mengetahui ada ‘pantang’ dalam hubungan, lebih baik kita sudahi sedari awal. Daripada setelah saling memiliki rasa lebih dalam, akhirnya dipisah. Sakitnya tuh disini kata lagu.

Ada yang harus kita jaga? Kembali pada perasaan orang tua. Apakah kita akan menyakiti perasaan mereka. Atau apakah kita siap menjadi anak durhaka ketika kita memaksakan keinginan kita dan tidak mengindahkan norma yang dijaga oleh orang tua kita (adat yang kita anut sebagai warga Dalihan Na Tolu).

Apakah kita akan tetap menjalankan adat itu atau mencoba berontak atas nama cinta? Tentunya kembali pada diri masing-masing.