Cerita dimulai dari marga Sinaga. Konon katanya di huta Urat (asal marga Sinaga) di Palipi/Samosir ada tugu marga Sinaga yang didampingi seekor harimau (babiat). Konon katanya pada zaman dahulu ketika ompung marga Sinaga sedang berkelana ke hutan, bertemu dengan seekor harimau yang sedang tersedak sesuatu di kerongkongannya. Karena merasa kasihan kepada si harimau, raja Sinaga menawarkan bantuan namun dengan syarat, sang harimau menerima persahabatan dari raja Sinaga. Selain itu Sinaga juga meminta agar harimau menjaga keturunan raja Sinaga kelak. Itulah kisah persahabatan antara sinaga dan harimau yang berkaki tiga itu. Itu juga yang menjadi mengapa di Urat ada tugu itu. Babiat si telpang (harimau yang pincang). Konon pula ada semacam pesan bagi keturunan Sinaga agar ketika mereka bertemu dengan harimau, mereka bisa menitip atau mengingatkan pesan dari ompung/leluhur itu.

Sinaga sendiri merupakan keturunan dari Si Raja Lontung. Keturunannya secara berurutan adalah, Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar6. Konon katanya diantara dua anak terbesar ini masih terdapat perdebatan siapa diantara mereka yang lebih tua. Karena kebetulan keduanya menikah dengan putri yang marpariban. Menjadi perdebatan bagaimana menarik siapa yang lebih tua. Apakah dari garis keturunan bapak atau dari garis keturunan ibu (marpariban).

Ada semacam mitos yang bilang kalau mengalami gatal-gatal, konon liur boru Sinaga bisa menyembuhkan. Bahkan ada pengalaman dari yang sharing malam ini bahwa itonya atau mamanya dipercaya memiliki kebolehan untuk menyembuhkan orang sakit. Sering dimintai tolong untuk menyembuhkan orang lewat napuran yang dikunyahnya. Mengenai kebenarannya, wallahuallam. Konon batu gantung yang ada di Danau Toba juga bernama Seruni boru Sinaga. Kepada marga Sinaga juga dipesankan bahwa kalau ketemu dengan sesama Sinaga, pantang bertanya Sinaga keturunan apa. Nanti juga akan tahu sendiri.

Toga Gultom adalah keturunan pertama dari Si Raja Sonang. Keturunan yang lain adalah Toga Samosir, Toga Pakpahan, dan Toga Sitinjak. Konon mereka dipesan untuk tidak boleh sada ulaon dengan marga Pandiangan. Kalau larangan ini dilanggar akan terjadi sesuatu. Ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena sudah sering terjadi ketika mereka berada dalam satu ulaon atau misalnya Sampagul berpesta dan kateringnya disediakan marga Pandaingan, tidak terjadi apa-apa. Namun ternyata hal ini tidak berlaku untuk boru Pandiangan. Karena ternyata boru Pandiangan merupakan boru kesayangan dari keturunan si Raja Sonang.

Ada satu cerita dari Parsadaan Nai Ambaton (Parna) bahwa ada satu marga yaitu marga Sidabukke yang dikeluarkan dari Parna karena menikah dengan sesama marga Parna (marga Napitu).

Dari marga Simanjuntak ada cerita juga. Tuan Somanimbil mempunyai tiga orang anak, Somba Debata (Siahaan), Raja Marsundung (Simanjuntak), dan Tuan Maruji (Hutagaol). Raja Marsundung mempunyai istri pertama boru Hasibuan. Dari isteri pertama ini lahirlah satu orang anak yaitu Raja Parsuratan. Beberapa tahun setelah boru Hasibuan meninggal, Raja Marsundung mengambil isteri boru Sihotang. Dengan demikian Raja Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). Dan memiliki saudara tiri, yang bernama Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu.

Karena kondisi seperti itu, hubungan antara Raja Parsuratan dan ibu tirinya kurang harmonis. Hal ini dapat dimaklumi karena di orang Batak, antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada kecocokan/kerukunan, juga karena si Bapak selalu lebih memihak kepada isteri keduanya. Ketidakcocokan ini menjadi semacam kisah klasik yang ada di marga Batak.

Ternyata di lingkungan orang Batak ada agama ‘asli’ yang disebut dengan Malim. Penganutnya disebut Parmalim. Mereka menganut kepercayaan animisme. Pusat penyebaran mereka di daerah Huta ginjang di daerah Laguboti. Ada yang bilang juga kalau mereka ini meneruskan apa yang diwariskan oleh dinasti Sisingamangaraja. Mereka juga punya bendera dengan tiga warna yaitu merah, hitam dan putih. Konon ketiga warna ini mewakili tiga dunia yang dipercaya mereka. Warna putih mewakili banua ginjang (atas), merah mewakili banua tonga (tengah), dan warna hitam mewakili banua toru (bawah).

Parmalim juga menjaga kearifan lokal seperti selalu jujur atau menjaga kelestarian alam. Sampai ada satu joke yang bilang kalau di kampung mereka ada yang kehilangan, bisa dipastikan kalau pelakunya adalah pihak luar. Bukan dari kalangan mereka. Parmalim juga memiliki hari besar yaitu hari Sabtu. Dimana mereka biasanya melakukan ritual keagamaan mereka.

Untuk saudara kita dari daerah Karo, parmalim ini dikenal dengan istilah perbegu (aliran kepercayaan). Yang masih mempercayai adanya roh. Sementara pasangannya disebut dengan Permena yang masih lekat dengan agama. Ada beberapa cerita/mitos dari bang Seiko yang bermarga Pinem Perangin-angin yang masih merupakan keturunan si Raja Lontung. Namun lebih pada kepercayaan yang terkait dengan kepercayaan. Tidak terkait dengan marga.

Cerita marga Sibarani lain lagi. Diantara mereka belum ada kesepakatan siapa yang lebih tua siapa yang lebih muda. Konon hal tersebutlah yang menyebabkan marga Sibarani tidak memiliki tugu sampai sekarang.

Untuk keturunan Silahisabungan, seperti marga Silalahi, Sihaloho, Sinurat, Dolok Saribu, Sipayung, Sipangkar, Nadapdap sampai Tambunan yang paling kecil ada satu pesan orang tua yang disebut dengan Poda Sagu Marlangan. Disebut poda karena inilah pesan Raja Silahisabungan kepada delapan anak dan keturunannya. Selengkapnya, berbunyi sebagai berikut:

  1. Ingkon masihaholongan ma hamu sama hamu ro di pomparanmu, sisada anak sisada boru na so tupa masiolian, tarlumobi pomparanmu na pitu dohot pomparan ni si raja tambun on.
  2. Ingkon humolong roha mu na pitu dohot pomparanmu tu boru pomparan ni anggimu si raja tambun on, suwang songon i nang ho raja tambun dohot pomparanmu inkon humolong roham di boru pomparan ni haham na pitu on.
  3. Tongka dohononmu na ualu na so saama saina hamu tu pudian ni ari.
  4. Tongka pungkaon bada manang salisi tu ari na naeng ro.
  5. Molo adong parbadaan manang parsalisihan di hamu, ingkon sian tonga – tongamu masi tapi tola , sibahen umum na tingkos na sojadi mardinkan, jala na so tupa halak na hasing pasaehon.