Merdeka! Diskusi malam ini terkait dengan apa yang sedang kita rayakan pada hari ini, 17 Agustus. Kemerdekaan negara kita, Republik Indonesia. Apakah masing-masing kita telah menikmati kemerdekaan? Bagaimana pandangan kita terhadap kemerdekaan? Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga pengertian merdeka yaitu, bebas, lepas dari tuntutan, dan tidak tergantung kepada orang lain.

Ada yang berpandangan kalau wanita Batak kehilangan kemerdekaannya ketika baru melahirkan. Karena setelah itu mereka akan direpotkan oleh berbagai kegiatan adat terkait dengan kondisinya baru melahirkan. Ragam kegiatan biasanya dilakukan oleh keluarga kepada mereka yang baru mendapat momongan. Seperti acara pasahat unte, mamboan bangun-bangun, atau mamoholi misalnya. Padahal kondisi kesehatan sang ibu mungkin belum terlalu pulih sehabis melahirkan. Dan dengan kondisi tersebut dia harus mengikuti prosesi yang mungkin melelahkan. Belum lagi mengurus bayi yang baru lahir.

Masih berhubungan dengan itu, perempuan Batak juga sering merasakan belum merdeka atas diri mereka sendiri jika dikaitkan dengan pendidikan misalnya. Ketika mereka ingin memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, masih sering dipertanyakan apa tujuannya, apa manfaatnya. Padahal harusnya itu merupakan hak dia yang bisa dilakukan dan jalankan selama dia mampu. Untuk perempuan (Batak) kemerdekaan selain untuk diri sendiri, juga terkait dengan pasangan, keluarga, tempat tinggal atau terkait anak-anaknya.

Selain itu, makna kemerdekaan juga belum dirasakan ketika terkait dengan rongkap. Masih sering mendapat pertanyaan andigan muli, aha dope na pinaintem misalnya. Hal sama dirasakan juga oleh naposo baoa (laki-laki). Khas naposo, belum merdeka karena mereka masih takut menghadapi tanggal 31 Desember ketika ada ulaon mandok hata diantara keluarga. Terkait dengan itu, untuk teman naposo, kemerdekaan juga belum dirasakan dalam arti pemilihan pasangan hidup, pilihan untuk melakukan pernikahan sesuai dengan keinginannya, bukan semata keinginan keluarga. Ada juga yang melihat kemerdekaan dari posisinya sebagai anak bungsu. Sebagai anak bungsu selalu dipandang sebelah mata seolah tidak tahun apa-apa dan tidak berhak memberi pendapat.

Ada juga yang belum merasakan kemerdekaan ketika terkait dengan partuturan Dalihan Na Tolu, bagaimana bersikap kepada hula-hula, kepada dongan tubu, kepada boru, dan sebaliknya diantara ketiganya. Apakah menjadi kungkungan? Sebenarnya tidak. Karena kalau prinsip Dalihan Na Tolu dijalankan dengan baik, dan semua pihak menjalankan perannya dengan baik, mestinya hal tersebut tidak terjadi. Seorang warga Dalihan Na Tolu, menjalani semua posisi baik sebagai Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru dalam adat Batak pada waktunya. Satu posisi tidak melekat pada satu orang selamanya. Posisi itu akan dialami oleh setiap orang. Dengan memahami posisi apapun yang kita lakoni sesuai parhundulna, akan membuat kita menjadi semakin bijak untuk menjalankan posisi lainnya.

Dalam konteks kehidupan keseharian, apakah kita sudah merdeka? Ada yang berpendapat bahwa kemerdekaan itu sebenarnya sebuah hal semu. Sama seperti negara yang kemerdekaannya kita rayakan pada hari ini, setelah kemerdekaan diraih ternyata ada batasan-batasan baru yang dibangun. Memang benar kita merdeka ketika baru lahir, dan masih mengalaminya ketika masih kanak-kanak. Namun ketika telah dewasa, apakah kita masih merasakan kemerdekaan yang sama? Dalam hubungannya dengan konteks adat, apakah adat itu menjadi pagar- pagar itu dan tidak menjadikan adat Batak menjadi ekslusif? Apakah adat istiadat yang ada akhirnya menjauhkan kita dari (adat) Batak? Mungkin benar dalam keseharian atau dalam beberapa kesempatan kita merasa tidak memperoleh manfaat dari adat Batak. Mungkin benar dalam beberapa hal, adat seperti belenggu yang seolah membatasi aktivitas kita. Bukan tidak mungkin itu terjadi karena kita belum menemukan soul dari habatahon itu sendiri. Atau bahkan kita menganggap, apa yang kita lihat dan alami itu bagian dari adat. Bisa jadi hanya ulah sebagian orang saja yang kita anggap bagian dari adat, dan bukan adat sebenarnya. Kalau kita mencoba mengenal Batak, dengan adat istiadat dan tatanan yang ada, bisa jadi kita menemukan keindahan dan manfaatnya. Dan untuk menemukan itu, tidaklah terjadi dalam waktu yang singkat.

Dalam hubungan dengan cita- cita orang Batak yang Hagabeon,Hamoraon, Hasangapon,muncul pertanyaan apakah lantas menjadi pagar yang membatasi pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu? Dan menjadi alasan untuk tidak merdeka menjalankan adat Dalihan Na Tolu? Apakah ketika seseorang belum gabe misalnya, menjadi halangan dia untuk menjalankan atau mendapat adat yang seharusnya. Kembali pada prinsip ‘aek godang, aek laut. Dos ni roha sibahen na saut’. Ketika telah ada kesepakatan diantara unsur Dalihan Na Tolu, adat yang sesuai konteks kekinian masih bisa dijalankan. Karena sejatinya dasar dari adat Dalihan Na Tolu adalah holong. Ketika kita sudah mengedepankan holong, apapun yang dianggap menjadi halangan pelaksanaan adat DNT bisa dihilangkan.

Kemerdekaan juga haruslah dilakukan dengan toleran. Dalam pengertian tidak searah atau satu pihak saja. Tapi saling timbal balik. Artinya kemerdekaan bukan hanya dari sisi kita, harus kita lihat juga dari sudut orang lain. Dengan demikian tidak ada pemaksaan kehendak kepada orang lain. Dalam hubungan dengan soal rongkap sebagaimana disebut di atas misalnya, ketika kita merasa terganggu dan tidak merdeka ketika ditanya kapan menikah, kita juga harusnya merdeka untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Dalam konteks lebih luas, kemerdekaan haruslah disadari merupakan hak asasi setiap manusia. Tinggal bagaimana dia melaksanakan kemerdekaan itu dengan penuh bertanggung-jawab. Begitu juga dalam konteks bernegara. Bagaimana bersikap terhadap apa yang terjadi di negara. Sah saja untuk menyampaikan pendapat. Karena toh kita tidak bisa menjadi penonton semata atas apa yang terjadi. Jika kita hubungkan antara Batak dan negara, kita cukup berbangga karena suku Batak (tanpa bermaksud menyombongkan diri) cukup memberi kontribusi sejak era perjuangan kemerdekaan hingga sekarang. Orang Batak memberi kontribusi penting dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.

Menarik ketika diskusi melebar ke arah hubungan antara tulang dan bere. Bagaimana kita memandang bere, melihat kita. Dan sebaliknya bagaimana kita memandang bere kita memperlakukan kita. Mungkin bisa menjadi topik bahasan kita saat Jumat Marulaon.