Suku Karo merupakan bagian dari suku Batak yang bertempat tinggal di Kabupaten Karo. Kabupaten Karo beribukotakan Kabanjahe, dengan beberapa kota seperti Berastagi, Sibolangit, sebagian daerah Deli Serdang hingga perbatasan Dairi.

Ada lima marga utama di suku Karo yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Perangin- angin. Kelimanya disebut dengan istilah Merga Silima. Dari sinilah kemudian terlahir sub/cabang marga yang konon sudah berjumlah 80an marga.

Mirip seperti Toba yang punya Dalihan Na Tolu, Karo juga punya konsep sama yang disebut dengan Rakut Sitelu (telu = tiga) yang terdiri dari Sukut (Dongan Tubu), Kalimbubu (Hula-Hula) dan Anak Beru (Boru). yang menarik dari Karo adalah ketika mengenalkan diri setelah menyebut marganya sendiri, mereka akan langsung menyebut bebere satu marga. Mirip dengan Toba yang dimaksud dengan bebere siapa mengacu pada marga ibunya. Selain Rakut Sitelu ada juga istilah yang disebut dengan Tutur Siwaluh yang terdiri dari Sipemeren, Siparibanen, Sipengalon, Anak Beru, Anak Beru Menteri, Anak Beru Singikuri, Kalimbubu, Puang Kalimbubu. Tutur siwaluh ini merupakan hubungan kekerabatan dari kedua belah pihak orang tua. Empat dari pihak bapak dan empat dari pihak Ibu.

Lebih lebar lagi, ada lagi yang disebut dengan Perkaden-kaden Sepuluh Dua yang terdiri dari Nini, Bulang, Kempu, Bapa, Nande, Anak, Bengkila, Bibi, Permen, Mama, Mami, Bere-bere. Panggilan kekerabatan Karo mengacu pada ketiga komponen tersebut.

Mengingat bahwa Karo dan Toba merupakan sesama cabang dari suku Batak, ada beberapa padanan dalam panggilan kekerabatan. Ada Mama untuk menyebut Tulang, Mami untuk menyebut Nantulang. Selain itu ada sebutan Kila yang merupakan panggilan kepada suami saudara perempuan ayah (namboru). Sementara untuk sapaan ampara (dongan tubu) Karo menyebut dengan Senina. Untuk pariban saudara kita Karo menyebutnya dengan impal. Untuk rumah adat, Karo menyebut dengan siwaluh Jabu. Walu berarti delapan. Karena konon katanya ada delapan keluarga yang bsia tinggal di rumah tersebut.

Untuk proses pernikahan adat Karo, ada satu proses yang disebut dengan Mbaba Belo (sirih) Selambar. Ini prosesi seperti pinangan. Biasanya dalam proses ini pihak calon pengantin laki akan datang kepada pihak calon pengantin wanita. Zaman dahulu biasanya dilakukan di daerah netral. Dalam arti bukan di rumah baik pria maupun wanita. Prosesnya adalah menanyakan kesediaan sang wanita dan keluarganya. Keluarga disini tidak hanya orangtuanya, tetapi juga Sembuyak, Anak Beru, Singalo Bere-Bere, Dan Kalimbubu. Pada zaman dahulu acara mbaba belo selambar biasanya dilakasanakan pada malam hari setelah makan malam selesai. Kemudian pertanyaan yang menarik dalam pernikahan adalah, mengapa ketika pernikahan Toba dengan Karo harus dilakukan dengan dua adat? Hal tersebut konon merupakan supaya pihak yang non Karo punya orang tua di pihak Karo selain itu juga untuk mempermudah jalannya prosesi adat. Mirip seperti konsep mangain dalam adat Toba.

Kalau Toba punya ulos yang digunakan dalam acara adat, Karo punya yang dan disebut dengan Uis Gara. Uis berarti kain dan Gara berarti merah. Disebut sebagai “kain merah” karena pada uis gara warna yang dominan adalah merah, hitam, dan putih, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang emas dan perak. Cara pembuatannya juga tidak jauh berbeda dengan ulos yang ditenun. Untuk pengantin uis ini disebut dengan Uis Nipes.

Dalam upacara pernikahan, mirip dengan Toba saudara kita dari Karo juga memiliki seperti tingkatan. Ketika semua keturunan dari yang meninggal sudah menikah, prosesi atau upacara adat kematian dilakukan lebih.

Soal penganan, ada yang disebut dengan pagit-pagit atau sering disebut dengan sotonya orang Karo. Bahan utama pagit-pagit ini adalah isi perut (rumput yang separuh dicerna) sapi, atau kerbau sebelum mengalami proses pemamahbiakan selanjutnya. Bahan tersebut kemudian dimasak bersama rempah-rempah, santan, takokak, dan daun tapioka atau daging sebagai kuahnya. Sering juga disebut dengan tritis. Karena asal usul bahan baku makanan tersebut, muncul joke yang menyebut orang Karo makan (maaf) ta* lembu. Karena memang kalau tidak pintar mengolahnya, aroma alat pencernaan lembu masih terasa. Zaman dulu penduduk daerah Lingga terkenal pintar dalam mengolahnya.

Selain itu ada juga yang disebut dengan cimpa. Yang terbuat dari beras ketan merah atau putih. Di dalam beras ketan merah dimasukkan gula merah atau gula aren yang telah dicampur dengan kelapa parut. Kemudian biasanya dibungkus dengan daun pisang dan dikukus. Cimpa merupakan salah satu makanan yang sangat penting bagi orang Karo. Cimpa harus ada di setiap pelaksanaan acara- acara adat Suku Karo. Cimpa harus dihadirkan saat berlangsungnya acara pesta adat pernikahan, kerja (untuk menyebut pesta, saudara kita dari Karo menyebut dengan Kerja) tahun dan kematian. Jika dalam salah satu acara adat tersebut tidak dihadirkan cimpa, maka acara adat tersebut dianggap kurang dan tidak sempurna.

Soal apakah Karo masih mempertahankan soal penanggalan dalam arti mempercayai ada tanggal baik dan tanggal tidak baik, mau tidak mau memang merupakan warisan dari leluhur. Berhubungan dengan kepercayaan asli sebelum masuknya agama sebgaimana kita kenal sekarang. Dan tidak dapat dipungkiri hal tersebut bisa mengarah pada okulitsme atau mistik. Mungkin ada yang masih mempercayai, sebanyak orang yang mungkin sudah tidak peduli lagi.

Mengenai masalah apakah Karo bukan Batak yang pernah digaungkan oleh beberapa orang pada masa lalu, konon merupakan warisan sejarah antara Kolonel Simbolon dengan Jamin Ginting pada masa-masa pemberontakan daerah saat awal kemerdekaan. Akibat dari ‘perselisihan’ mereka, ada semacam jarak yang dibuat atau diwariskan orang tua antara Toba dan Karo. Namun dari diskusi malam ini, kita memahami apapun yang terjadi pada masa lalu, tidak perlu kita bawa sampai masa kini. Karena bagaimanapun kedekatan geografis, budaya dan antropologis membuat kita bisa bersama membangun jembatan antara Toba dan Karo. Karena masalah di depan kita lebih kompleks daripada masalah yang dialami orang tua pendahulu kita.