Dalam menjalin hubungan, ketika naposo jalan bersama (berpacaran) sebagaimana biasanya anak muda, mereka masih dalam tahap saling mengenal dulu sifat dan karakter pasangan masing-masing. Setelah keduanya sudah saling mengenal dan karenanya sepakat membawa hubungan ke tahap berikutnya, pembicaraan mulai diarahkan pada tahap lebih lanjut lagi. Biasanya, pembicaraan mulai diarahkan dan fokus pada tujuan mereka, pernikahan. Salah satu atau salah dua yang sering dibicarakan adalah soal penghasilan atau aset masing-masing. Apalagi kalau keduanya sudah bekerja.

Sebelum membicarakan soal penghasilan atau aset, ada juga yang mulai pembicaraan itu pada tahap awal sekali. Maksudnya, meskipun disadari bahwa menikahkan (pesta unjuk) anak-anak adalah tanggung jawab orang tua, ada juga pasangan yang membicarakan hal tersebut dan sepakat mengambil bagian. Entah untuk sekadar membantu dan meringankan beban orang tua, maupun dalam hal membiayai pesta secara keseluruhan. Meskipun kadang untuk itu mereka harus berutang. Dan untuk pesta yang berlangsung sehari, bisa jadi penyelesaiannya bisa berlangsung beberapa tahun setelahnya. Tidak ada penyesalan buat mereka, bahkan ada kebahagiaan sendiri buat mereka.

Membicarakan penghasilan dan aset, bukanlah soal kepo. Apalagi kepo kadang berkonotasi negatif. Tetapi untuk
perencanaan ke depan, ketika rumah tangga sudah dibentuk. Tidak ada tujuan lain selain untuk perencanaan. Menjalani pernikahan bukan semata hidup berdua. Tapi berkeluarga. Baik untuk anak-anak maupun keluarga masing-masing. Meskipun mungkin tidak ada lagi kewajiban dari anak-anak yang sudah menikah dan manjae kepada orang tua atau keluarga masing-masing, kadang kita juga perlu memperhatikan keluarga darimana kita berasal.

Membicarakan penghasilan dan aset, bukanlah soal kepo. Tetapi untuk perencanaan ke depan, ketika rumah tangga sudah dibentuk.

Tetapi ternyata, yang dibicarakan atau dishare awal itu bukan hanya soal aset. Tapi juga hal lain seperti utang dan asuransi. Utang bisa berbentuk cicilan kartu kredit atau cicilan lain seperti aset (rumah) atau barang konsumtif (mobil). Juga soal kewajiban kepada keluarga masingmasing. Apakah ketika masih lajang karena sudah bekerja keduanya punya kewajiban kepada keluarga masing-masing. Seperti membantu operasional rumah tangga orang tua semacam
tagihan listrik, air dan seterusnya. Atau membantu menyekolahkan adik atau sekadar memberi uang saku.

Hal yang sering dibicarakan dengan calon pasangan, bukan sekadar penghasilan atau aset. Tapi juga soal lain seperti kewajiban (utang), asuransi bahkan investasi.

Belakangan pembicaraan itu melebar lagi pada apa yang disebut dengan investasi. Banyak pasangan yang baru menyadari belakangan soal investasi ini. Padahal ini merupakan hal penting. Penting karena adanya faktor inflasi yang bisa jadi menggerus penghasilan yang diperoleh. Soal apa wadah invetasi yang dipilih, kembali pada kesepakatan keduanya. Selain untuk dana operasional rumah tangga, ada juga pasangan yang sudah menyiapkan semacam dana darurat. Tujuannya untuk menanggulangi hal-hal selain operasional rumah tangga sehari-hari seperti misalnya kegiatan adat keluarga besar dan seterusnya.

Soal keuangan ini, ada yang memegang prinsip, uang suami adalah uang istri. Uang istri adalah uang istri. Namun ternyata ada juga yang berencana dan menyepakati kalau penghasilan mereka adalah uang bersama yang akan dikelola bersama. Ada juga yang memegang prinsip bahwa gaji pokok atau pendapatan tetap suami harus disetor ke dalam rekening bersama. Sementara untuk pendapatan lain, boleh dikelola sendiri. Ini berlaku baik untuk suami atau istri. Dengan demikian mereka berdua memiliki kesempatan untuk menjalankan hobi masing-masing tanpa mengganggu dana operasional rumah tangga yang sudah disiapkan. Jangan sampai prinsip “lebih gampang minta maaf daripada minta izin” dikedepankan. Namun soal hobi inipun haruslah dibincangkan bersama. Jangan sampai malah untuk menyalurkan hobi atau keinginan sendiri, malah mengganggu keuangan keluarga.

Ada juga yang berprinsip bahwa biaya operasional rumah tangga, paling utama yang bertanggung-jawab adalah pria dan dia harus terbuka. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut karena prialah kepala keluarga dan mereka harus bertanggung-jawab untuk itu. Namun demikian pria haruslah diberi kepercayaan untuk mengelola sendiri uang sakunya. Karena bagaimanapun dia punya aktivitas atau kegiatan sendiri. Jangan sampai, ketika dia jalan dan kumpul dengan teman-temannya misalnya, istri ‘menjatah’ uang sakunya. Tidak elok untuk keduanya, juga di depan orang
lain.

Ketika kedua pasangan bekerja, mungkin pengelolaannya tidak terlalu sulit. Keduanya bisa sepakat untuk menyisihkan
penghasilan masing-masing ke dalam rekening bersama untuk dipakai sebagai operasional rumah tangga.

Selebihnya menjadi uang masing-masing yang ditujukan untuk kebutuhan personal. Bagaimana ketika hanya suami yang bekerja, sementara istri bertanggung-jawab mengurus rumah tangga sehari-hari? Sebagai ‘menteri keuangan’, istri haruslah bisa menahan diri dalam mengelola keuangan. karena besar tidaknya pendapatan suami bukanlah yang utama. Bagaimana mengelolanya yang utama.

Terkait perencanaan keuangan, selain soal penghasilan dan aset, kadang diskusi juga dalam hal pekerjaan masing-masing. Apakah suami saja yang bekerja kemudian istri mengurus rumah tangga atau keduanya bekerja. Selain itu juga apakah (lowongan) pekerjaan tertentu (dengan kompensasi tertentu) layak untuk diambil. Tujuannya adalah untuk melihat kontribusinya nanti dalam keuangan keluarga.

Kembali pada pertanyaan judul diskusi, apakah membicarakan penghasilan dan aset calon pasangan, merupakan hal yang etis? Seharusnya etis dan justru harus dilakukan. Apalagi kalau hubungan hendak dibawa ke tahap selanjutnya. Karena bagaimanapun tujuannya adalah untuk kebaikan bersama. Selama dilakukan secara terbuka dan dibicarakan dengan cara baik-baik dan bertahap. Karena landasan fundamentalnya adalah komunikasi. Jangan sampai nanti ketika telah berumahtangga, pasangan tersebut malah berperan seperti Broery Marantika dan Dewi Yull yang berduet melantunkan “Jangan Ada Dusta Di Antara Kita”. Namun mungkin tidak dilakukan secara terbuka dalam arti menyebut persis nominalnya. Bukan “gaji gw segini, gaji loe berapa?”, tapi lebih kepada mencari gambaran kebutuhan rumah tangga berapa dan bagaimana kita akan menanggulanginya. Selain itu juga, penting untuk menjaga bahwa apa yang dibicarakan hanya konsumsi mereka saja. Tanpa keluarga kedua belah pihak tahu. Karenamerekalah yang akan
mencari dan mengelolanya.

Dan ada semacam kesepakatan bahwa tanggung jawab itu haruslah dimulai oleh pria. Prialah yang memulai untuk terbuka. Apalagi ada semacam kebiasaan keluarga bahwa dalam rumah tangga, istri yang akan menjadi sitiop puro (menteri keuangan). Apalagi beberapa pria merasa kurang cakap dalam mengelola keuangan. Untuk ini mereka akan menganut prinsip, “serahkan pada ahlinya”.

Satu hal yang menarik adalah, ternyata ada juga naposo yang sudah berencana untuk membuat semacam perjanjian pranikah bersama pasangannya. Mungkin karena berkaca pada pengalaman orang lain atau punya pengalaman dengan keluarganya. Apapun itu, karena terkait dengan masa depan, haruslah direncanakan jauh hari. Agar ketika rumah tangga sudah dibentuk, soal uang ini tidak menjadi kerikil yang akan mengganggu perjalanan rumah tangga yang akan dibentuk. Karena tidak sedikit rumah tangga yang akhirnya bubar semata karena urusan uang ini. Pada
beberapa keluarga soal uang adalah soal yang sensitif.