Sering kita dengar kalau orang Batak memiliki acara adat sejak lahir hingga meninggal. Untuk yang terakhir orang Batak memiliki sebutan (status) atas sebuah peristiwa kematian. Dibedakan atas kondisi apakah sudah berkeluarga atau belum. Ketika sudah berkeluarga, masih juga dibedakan apakah sudah memiliki keturunan atau belum. Setelah itu masih dibedakan lagi apakah kematian orang tua sudah didahului oleh keturunannya atau tidak.
Ada beberapa istilah untuk acara terkait dengan kematian pada keluarga Batak.
Tilaha
Tilaha adalah istilah untuk kematian seseorang dengan status masih bayi sampai dewasa tetapi belum menikah. Sebagaimana kita ketahui bahwa seseorang bahkan ketika telah berumur, tetapi belum menikah tetap belum ‘dianggap’ dalam adat. Biasanya setelah meninggal segera dimakamkan. Jika mungkin tidak bermalam. Tidak ada acara berbentuk adat. Acara hanya
ucapan duka cita. Tilaha ini juga memunculkan istilah tilahaon ketika keluarga kehilangan anak (anak atau boru meninggal).
Biasanya tidak ada acara adat untuk kondisi seperti ini. makanan yang disediakan atau ketika mengajak tamu makan disebut mardaon pogu. Disebut mardaon pogu karena saat itu sebenarnya tidak pada tempatnya makan mengingat kondisi yang sedang dihadapi, yang pahit seperti pogu (empedu).
Mate Makkar
Disebut mate makkar ketika yang meninggal sudah menikah (Ibu atau Bapak) namun belum ada anaknya yang berkeluarga atau menikah. Makkar artinya kekurangan atau kehidupan yang tak sempurna. Belum sempat mendapat ‘nama baru’ dalam arti belum memiliki pahompu. Meninggal
dalam kondisi begini disebut juga mate maponggol bila yang meninggal adalah seroang ama, sementara ketika ina yang meninggal disebut dengan istilah dan tompas tataring (runtuhnya dapur).
Sari Matua
Disebut sari matua ketika yang meninggal sudah memiliki keturunan yang memberikan dia cucu. Sudah memiliki nama ketiga. Sudah disebut “Ompu ni…”. Tetapi masih ada keturunannya yang belum menikah. Masih ada yang perlu disarihon. Kondisi ini terlihat juga dari posisi tangan jenazah yang dilipat di atas perut.
Saur Matua
Saur matua adalah status orang meninggal bila semua anaknya telah menikah. Sudah sempurna. Saur. Tidak ada lagi yang disarihon. Untuk kondisi saur matua posisi tangan jenazah di dalam peti diletakkan disamping badannya. Hal ini bermakna bahwa almarhum telah lepas semua beban atau tanggung jawabnya sebagai orangtua selama dia hidup di dunia.
Mauli Bulung
Saur matua bulung sering disebut juga saur matua mauli bulung atau mauli bulung. Ini adalah kondisi meninggal dengan status sempurna. meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namar-nini, sahat tu namar- nono dan kemungkinan ke “marondok-ondok”. Kesempurnaan tersebut diindaksikan oleh kematiannya yang mendahului semua pomparannya. Seperti daun yang jatuh berurutan mulai dari yang tua. Tidak ada tilahanya. Tidak ada anak laki, boru, hela, parumaen yang mendahului.
Dalam acara adat kematian ada beberapa perangkat adat yang biasa digunakan. Pertama adalah ulos tujung. Disebut ulos tujung karena posisinya yang ditujungkan (ditaruh diatas kepala). Diberikan kepada mereka yang menghabaluhon (suami atau isteri yang ditinggalkan almarhum).
Jika yang meninggal adalah suami, maka penerima tujung adalah isteri yang diberikan hula-hulanya. Sebaliknya jika yang meninggal adalah isteri, penerima tujung adalah suami yang diberikan tulangnya. Tujung diberikan kepada perempuan balu atau pria duda karena “mate mangkar” atau Sari Matua, sebagai simbol duka cita dan jenis ulos itu adalah sibolang. Konon dahulu, tujung itu tetap dipakai kemana saja pergi selama hari berkabung yang biasanya seminggu dan sesudahnya baru dilaksanakan “ungkap tujung” (melepas ulos dari kepala). Namun seiring perkembangan zaman, tidak dilakukan lagi. Biasanya ungkap tujung dilakukan setelah acara pemakaman.
Berikutnya adalah ulos Sampe Tua. Ulos yang diberikan kepada suami atau isteri almarhum yang sudah Saur Matua. Bedanya tidak ditujungkan diatas kepala. Melainkan diuloskan ke bahu oleh pihak hula-hula ataupun tulang. Jenis ulos dimaksud juga bernama Sibolang. Ulos Sampe Tua bermakna Sampe (sampailah) tua (ketuaan-berumur panjang dan diberkati Tuhan). Ada satu lagi ulos yang mengambil peran. Disebut dengan ulos saput. Kalau tujung berasal dari hula-hula, ulos ini disematkan tulang kepada jenazah berenya. Namun dalam pelaksanaannya sering terdapat perbedaan tergantung pada kebiasaan/adat masing-masing daerah.
Ada lagi yang disebut dengan sijagaron yang terdiri dari ranting dan daun hariara, baringin, sanggar, ompu-ompu, silinjuang, sihilap, pilo-pilo. Dilengkapi dengan biji kemiri dan sebutir telor ayam. Semuanya ditempatkan dalam wadah ampang dan jual yang berisi padi. Keseluruhannya melambangkan pencapaian hidup si orang tua meninggal dunia dan harapan ke depan bagi semua keturunannya.