Malam ini spesial karena kita membicarakan sesuatu yang mungkin jarang kita
diskusikan secara khusus. Tentang hubungan antara orang tua dan anak. Dalam keluarga Batak, kalau kita bicara hubungan orang tua, tidak diatur spesifik selayaknya hubungan Dalihan Na Tolu yang somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Mungkin hal tersebut karena sejatinya hubungan orang tua dan anak, merupakan hubungan yang universal. Tidak hanya terjadi dalam keluarga Batak saja. Juga dialami oleh keluarga suku lain.

Pepatah berkata, “kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”. Kita semua sepakat bahwa kasih orang tua kepada anak itu, limitless. Tidak terbatas. Namun apakah kasih anak juga demikian?. Bisa iya bisa tidak. Mungkin paling sering kita alami malah kita tidak bisa membalas semua pemberian orang tua kepada kita.

Dari sisi ekonomi, orang tua sudah membiayai kita sejak dari kecil, sekolah hingga menikahkan kita. Apakah orang tua menuntut sebaliknya dari kita? Tidak. Harapan mereka hanya satu, berhasil mementaskan anak-anaknya. Kalau perlu, kondisi anak-anak selalu lebih hebat dari kondisi orang tua. Kalau orang tua hanya sekolah menengah, anak harus bisa sampai sarjana. Demikian seterusnya. kalau orang tua hanya staf biasa, orang tua harus bisa kalau
perlu sampai level direktur.

Setelah lulus sekolah dan bekerja, mereka juga tidak meminta imbal balik dari apa yang telah mereka keluarkan selama ini. Justru anaklah yang sering berinisiatif untuk mengambil peran orang tua. Misalnya dengan membantu membiayai rumah semacam pengeluaran sehari-hari, atau bahkan membantu orang tua untuk menyekolahkan adik-adiknya. Kalau perlu membantu dalam menikahkan adik-adiknya.

Karena orang tua berprinsip, harta yang mereka cari dan kumpulkan nantinya akan jatuh kepada anak-anak. Sementara harta yang dicari anak-anaknya mereka tidak ikut campur atau utak-atik. Sepanjang bisa membiayai sang anak dan keluarganya, hal tersebut sudah cukup buat mereka. Karena mereka sudah mempersiapkan untuk mereka sendiri. Hari tua, sudah dipersiapkan agar
tidak menyusahkan anak”

Orang tua tidak berharap banyak dari anak- anaknya. Bahkan kalau kita sadari, mereka banyak berkorban untuk anak-anaknya. Mungkin kalau tidak pas menggunakan kata berkorban, mereka mampu menahan diri demi anak-anaknya. Apa yang mereka inginkan terutama tentu saja kebahagiaan anak-anaknya. Mereka tidak mengharapkan harta atau materi. Yang paling penting anak-anak menjaga nama baik mereka, orang tua. Dan ketika anak-anak akhirnya membanggakan orang tua, hal tersebut merupakan bonus buat mereka.

Beberapa teman yang berbagi manyampaikan bahwa orang tua Batak, terutama Bapak bukanlah tipe yang dekat dengan anak-anak layaknya cerita sinetron. Bahkan mungkin cenderung keras dan tegas. Namun bukanlah tanpa alasan. Mungkin ketika mengalami sendiri, kita tidak paham apa latar belakangnya. Yang sering kita sadari maknanya belakangan ketika telah dewasa. Mungkin mereka beranggapan begitulah cara mendidik anak-anak. Mungkin begitu juga diajarkan oleh orang tua mereka. Dari sana akhirnya anak-anaknya belajar. Untuk kemudian memilih cara yang paling pas yang digunakan kepada anak-anaknya kelak.

Yang unik dari hubungan orang tua anak dalam keluarga Batak adalah bagaimana orang tua mengenalkan budaya Batak kepada anak-anaknya. Meskipun mungkin tidak semua mengajarkan secara lengkap. Minimal mengajarkan bagaimana hubungan kekerabatan dalam adat Batak.
memanggil tulang kepada siapa, memanggil namboru kepada siapa. Dan bagaimana bersikap terutama kepada tulang, kerena posisi mereka yang hula-hula. Selain itu juga mengajarkan bahasa Batak kepada anak-anak. Sama seperti adat Batak, tidak diajarkan secara langsung mungkin. Namun dari mendengar sesama orang tua berbicara dalam bahasa Batak, anak-anak mempunyai gambaran atau mengerti sedikit mengenai bahasa Batak.
Meski kadang akhirnya orang tua membuat bahasa Batak menjadi bahasa sandi diantara mereka ketika membicarakan anak-anaknya.

Salah satu umpasa Batak mengatakan, “binuat bulu godang, denggan binaen hite. Molo dung anak/boru magodang, denggan ma i antong hot ripe” yang kurang lebih berarti, ketika anak telah dewasa, baiknya segera menikah. Semacam harapan orang tua untuk mencapai hagabeon yang merupakan salah satu cita-cita orang Batak selain hamoraon dan hasangapon. Kalau
dihubungkan dengan topik malam ini, apakah ada ‘paksaan’ dari orang tua ketika anaknya telah magodang (dewasa), mereka memaksa anaknya untuk segera menikah, agar mereka mencapai hagabeon dan mencapai saur matua? Ternyata harapan itu ada dari orang tua. Namun sering malah anak merasa tidak terlalu terbeban dengan keinginan orang tua tersebut.

Menikah dengan sesama Batak, ternyata merupakan satu cara membahagiakan orang tua. Bukan bermaksud untuk menafikan suku lain dan adanya proses mangain, namun lebih kepada memberi penghargaan kepada orang tua ketika pesta pernikahan anaknya dilaksanakan dengan prosesi adat yang paripurna. Bagaimanapun hubungan antara orang tua dengan anak. Naik dan turun, baik atau kurang baik, sebenarnya kita percaya bahwa mereka selalu berusaha yang memberi yang terbaik buat kita anak-anaknya. Tidak ada orang tua yang mau membuat hal jelek bagi anak-anaknya. Sayangi mereka selama kita bisa. Mumpung masih ada. Kalau belum bisa menyenangkan mereka,
setidaknya jangan menyusahkan mereka.

Pasomal-somal ma dirim tu na denggan asa gabe bangko, biasakanlah melakukan hal baik agar menjadi kebiasaan. Menjadi watak.

Jolo nidilat bibir asa nidok hata, sebelum mengucapkan sesuatu hendaklah dipikirkan terlebih dahulu.

Pantun do hangoluan, tois do hamagoan, berbuat baik akan mendatangkan keselamatan, berbuat jahat akan membawa masalah.