Kamus Batak Indonesia karangan J.P. Sarumpaet, M.A. menulis jual adalah penganan adat dalam bakul anyaman. Sementara Kamus Budaya Batak Toba karangan M.A. Marbun dan I.M.T Hutapea, menyebut jual memiliki dua arti. Yang pertama adalah, alat takar berukuran kurang lebih 6 liter. Sementara pengertian kedua adalah makanan atau beras yang biasanya dibawa hula-hula dalam upacara adat dan diletakkan di dalam ampang atau tandok (berukuran besar).

Ada dua istilah menggunakan kata jual jika dihubungkan dengan perkawinan adat Batak. Pertama adalah dialap jual yang berarti pesta pernikahan diadakan di rumah orang tua mempelai putri. Sebaliknya ketika perkawinan diadakan di rumah orang tua mempelai pria, disebut ditaruhon jual. Keduanya biasa disebut rumang ni ulaon (bentuk kegiatan). Biasanya dibahas pada saat marhusip bersama dengan komponen pesta lainnya seperti jumlah sinamot, jumlah ulos,
parjambaran dan lain sebagainya.

Ketika pesta masih dilaksanakan di kampung atau dari apa yang dilaksanakan leluhur orang tua kita pada zaman dahulu, pesta pernikahan diselenggarakan di rumah atau di kampung. Mungkin memang selalu dilaksanakan di kampung atau huta parboru (orang tua pengantin perempuan). Dalam adat Simalungun, istilah alap jual ini dikenal dengan istilah alop dear. Konon katanya ulaon alop dear ini jarang dilakukan karena bisanya pesta pernikahan dilakukan di alaman paranak. Ulaon ini disebut adat paroh parumaen.

Perbedaan antara alap jual dan taruhon jual terlihat sejak acara pada pagi hari sebelum pemberkatan. Ulaon alap jual biasanya dimulai dengan acara marsibuha-buhai. Pihak paranak datang ke kediaman parboru. Membawa tudu-tudu sipanganon yang diletakkan di dalam ampang. Mereka memasuki rumah parboru dan disambut oleh orang tua pengantin perempuan. Dimulai dengan menyerahkan tudu-tudu sipanganon yang dibawa paranak, kemudian parboru akan ‘membalas’ dengan menyerahkan dengke kepada paranak.

Sementara ulaon taruhon jual, biasanya dimulai dengan sarapan pagi yang dilakukan bukan di kediaman parboru. Biasanya dilakukan di aula gereja tempat pemberkatan dilakukan (dalam hal pernikahan agama Kristen).

Selain itu, terlihat juga pada prosesi memasuki gedung tempat acara pesta perkawinan. Ketika acara alap jual, keluarga pengantin perempuan sudah terlebih dahulu berada di dalam gedung, sementara paranak mengambil tempat yang sudah disediakan. Ketika semua sudah siap, biasanya orang tua kedua pengantin akan menuju depan (keluar) gedung untuk kemudian mengiringi pengantin memasuki ruangan.

Sementara ketika taruhon jual, keluarga pengantin pria sudah lebih dahulu di dalam gedung. Ketika semua sudah siap, mereka akan menyambut parboru yang memasuki gedung. Setelah itu, orang tua kedua pengantin ditemani keluarga dekat akan menuju (keluar) gedung untuk kemudian bersama-sama mengiringi pengantin memasuki gedung. Setelah itu, secara bergantian kedua keluarga akan menyambut hula-hula masing-masing. didahului oleh pihak paranak.

Setiap diskusi megenai pernikahan adat Batak, hal yang selalu menjadi perhatian adalah soal sinamot atau boli. Boli (Boli Ni Boru) atau sinamot adalah harta benda yang diterima karena putri dinikahkan. Boli berasal dari kata oli. Oli (Muli) atau Moli berarti pergi ke suatu tempat. Boru dipabolihon, anak dipangolihon. Boli berarti sinamot yang diterima parboru karena putrinya dinikahkan dan pergi ke kampung lain. Konon katanya sebagai semacam pengganti karena parboru kehilangan bantuan di rumah mereka karena borunya akhirnya pergi ke kampung lain (dalam hal ini ke kampung paranak).

Penting untuk diketahui bahwa bagaimanapun rumang ni ulaon, tidak serta merta membuat adanya kebebasan dalam menyerahkan sinamot. Sinamot tetap berjalan meskipun pesta dilakukan di alaman paranak. Mungkin yang bisa dinegosiasikan adalah jumlah sinamot yang diserahkan oleh paranak ketika ulaon adalah taruhon jual. Kembali kepada kesepakatan kedua belah pihak.

Masih jadi diskusi kalau sinamot menjadi semacam ukuran gengsi. Bahkan masih ada yang menyebut sebagai biaya atas pembelian boru. padahal sejatinya bukan demikian. Pasti tidak ada satupun orang tua yang mau menjual anaknya. Setinggi apapun sinamot yang diberikan oleh paranak, parboru tidak dalam posisi menjual borunya. Ada umpasa berbunyi, “Tuhor ni tigatiga do sietongon, boli ni boru sihalashonon. Yang berarti harga barang daganganlah yang harus dihitung untung rugi, sementara boli (mahar) boru harus diterima dengan suka cita.

Bicara mengenai kapan alap jual atau taruhon jual, terdapat beberapa faktor yang mempegaruhi. Tempat tinggal kedua (orang tua) calon pengantin, apakah berada di kota yang sama atau tidak. Aktivitas orang tua dalam adat juga mempengaruhi. Bisa saja karena orang tua aktif dalam adat. Atau apakah dari beberapa anaknya ada semacam giliran dalam pelaksanaan pesta adat. Selain itu, bicara soal besar atau megah dan berujung pada biaya pesta, bisa dipengaruhi oleh faktor yang sama. Plus mungkin karena anak atau boru pertama, karena anak atau boru sasada, atau anak atau boru siampudan. Kembali pada preferensi masing-masing keluarga (orang tua).

Dan perlu diingat, apapun rumang ni ulaon, semua kembali pada umpasa “Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut”. Semua kembali kepada kesepakatan kedua belah pihak.